Rabu, 27 Januari 2016

“ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT TERHADAP IMPLEMENTASI INTERNATIONAL STANDARDS ON AUDITING (ISA) DALAM KEGIATAN PENGAUDITAN: PELUANG DAN TANTANGAN DI ERA MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ”




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Indonesia mempunyai rencana berjangka waktu panjang untuk pembangunan negaranya yang disebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Rencana jangka panjang itu dilaksanakan dalam tiga fase yang dimulai pada tahun 2011 hingga tahun 2025. Jika sesuai dengan rencana awal, tidak lama lagi fase pertama dari MP3EI yaitu implementasi quick wins ini akan memasuki tahap akhir, yang berarti fase kedua dari MP3EI akan segera dimulai. Keberhasilan yang merupakan bentuk realisasi dari MP3EI pada fase yang pertama, menjadi acuan mutlak untuk menerapkan fase yang kedua ini.
Adapun fase kedua dari rencana jangka panjang ini yaitu memperkuat basis ekonomi dan investasi. Ekonomi dan investasi merupakan dua hal yang sangat riskan dan bahkan menjadi masalah yang cukup krusial di antara negara-negara yang sedang berkembang, tidak terkecuali negara Indonesia. Tentunya fokus dari rencana ini sudah berbeda dengan fase pertama. Fase kedua ini akan berfokus pada pembangunan proyek infrastruktur jangka panjang, meningkatkan daya saing kegiatan ekonomi utama MP3EI, peningkatan tata kelola ekonomi di berbagai bidang, dan memperluas pengembangan industri yang menciptakan nilai tambah. Pada fase kedua ini ibarat mengelola bulir padi yang baru saja dipanen pada fase pertama. Masih ada tahapan-tahapan yang harus ditempuh agar ‘bulir padi’ ini dapat dinikmati.
Keberhasilan pelaksanaan implementasi quick wins merupakan fondasi dasar dari fase kedua. Memperkuat basis ekonomi dan investasi tidak hanya butuh sarana dan prasarana yang memadai, namun juga diperlukan sumber daya manusia yang memadai pula. Tanpa adanya fondasi dasar yang kuat tentunya sulit untuk membangun basis ekonomi dan investasi yang kuat dan tidak mudah runtuh walau dihadang badai besar sekalipun. Hal yang paling diharapkan adalah adanya kelengkapan berbagai infrastruktur, suprastruktur dan kesempurnaan sumber daya manusia yang maksimal.
Apalagi saat ini dunia sudah memasuki zaman globalisasi yang menjadikan dunia tanpa batas. Dunia ini dapat dianalogikan sebagai sebuah cermin yang dapat dilihat tembus pandang karena mudahnya akses untuk mencapai berbagai informasi yang mendunia. Hal ini mempengaruhi segala aspek, termasuk juga aspek ekonomi. Mudahnya akses informasi antar negara semakin memudahkan aktivitas ekonomi. Banyak negara-negara yang melakukan kesepakatan-kesepakatan terkait ekonomi, ataupun membentuk organisasi regional untuk mempermudah akses antar negara. Adapun organisasi ekonomi regional itu diantaranya AEC, AFTA, NAFTA, Uni Eropa. Ini membuktikan bahwa investasi-investasi yang dilakukan para investor juga menjadi tidak terbatas pada hanya satu negara saja karena siapapun dapat berinvestasi secara luas dalam ruang lingkup antar negara. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi setiap negara untuk mampu menarik minat investor. Ini juga menjadi suatu tantangan sendiri bagi negara Indonesia yang akan segera melaksanakan fase kedua dari MP3EI.
Salah satu dari tantangan ini yaitu bagaimana menarik minat investor untuk berinvestasi di Indonesia. Ketika investor berinvestasi, tentunya akan mencari informasi-informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan berinvestasi. Laporan keuangan merupakan salah satu media informasi bagi para investor. Laporan keuangan disusun berdasarkan atas standar yang berlaku di masing-masing negara. Dengan adanya laporan keuangan tersebut maka para investor akan mampu menentukan wadahnya yang paling tepat untuk melakukan suatu kegiatan investasi tersebut. Laporan keuangan yang wajar merupakan sebuah laporan yang sangat diharapkan baik bagi para investor, kreditor, dan bahkan pemelik perusahaan. Dengan demikian, laporan keuangan merupakan pertimbangan yang mutlak untuk mengubah paradigma yang dimiliki oleh para investor untuk menentukan wadah mereka dalam berinvestasi, dan standar untuk pembuatan laporan keuangan yang diterapkan oleh setiap perusahaan belum tentu sama dari berbagai negara.
 Standar akuntansi di setiap negara tidaklah sama. Hal ini kemudian menjadi masalah karena laporan keuangan setiap negara itu menjadi tidak dapat dibandingkan. Oleh karena itu harus ada standar akuntansi internasional yang bisa dipakai secara global. IFRS merupakan jawaban dari persoalan ini. IFRS (International Financial Reporting Standard) merupakan standar akuntansi internasional yang saat ini sudah diadopsi setidaknya oleh 130 negara di dunia. Dan negara pengguna IFRS akan terus bertambah seiring berjalan waktu, mengingat bahwa globalisasi bukanlah sesuatu yang dapat ditawar-tawar lagi. Suka tidak suka, mau tidak mau setiap negara haruslah menerima fakta bahwa pada masa yang akan datang, standar akuntansi yang dipakai seluruh dunia akan sama. Itu artinya informasi yang terkandung dalam laporan keuangan menjadi semakin berguna dan setiap negara harus mampu mempersiapkan diri untuk berkompetisi secara kompetitif.
Adanya IFRS sebagai standar akuntansi internasional bukan berarti masalah selesai sampai disitu saja. Pada dasarnya, laporan keuangan dibuat oleh pihak manajemen. Adapun pengguna laporan keuangan tidak hanya berasal dari manajemen yang merupakan pihak internal, tetapi juga pihak eksternal. Dan tentu saja, investor merupakan salah satu dari pihak eksternal itu. Kendati laporan keuangan sudah dibuat sesuai dengan standar akuntansi internasional yang berlaku, IFRS, tidak ada jaminan bahwa seluruh informasi yang terkandung dalam laporan keuangan sudah mencerminkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Hal ini menjadi problematika jika para investor yang akan melakukan investasi tersebut bukan berasal dari akademisi maupun praktisi di bidang akuntansi. Dengan demikian, yang menjadi masalah adalah sejauh mana mereka mampu memahami informasi yang terdapat di laporan keuangan tersebut.
Berdasarkan teori agensi (agency theory), teori yang menjelaskan ada perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemilik. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan agensi (agency relationship) sebagai sebuah persetujuan antara satu orang atau lebih principal yang melibatkan orang lain sebagai agen untuk melaksanakan beberapa layanan yang melibatkan pendelegasian pembuatan keputusan kepada agen. Agensi sebagai pihak yang memegang kuasa untuk menggunakan sumber daya milik principal  untuk memperoleh keuntungan yang maksimum dengan imbalan berupa gaji dan pembagian keuntungan sesuai yang disepakati sebelumnya. Adapun principal yang menginginkan keuntungan maksimum dengan memberikan kepercayaan kepada agensi untuk mengelola sumber daya sebaik mungkin. Kedua pihak ini jelas memiliki tujuan yang berbeda, dan dapat timbul konflik. Oleh karenanya dibutuhkan pengawasan yang dilakukan oleh pihak principal
Adapun bentuk pengawasan ini dilakukan dengan cara pihak agen, manajemen, harus melaporkan pelasanaan kegiatan yang telah dilakukan dalam upaya untuk mencapai tujuan dari principal. Salah satunya yaitu dengan mengeluarkan laporan keuangan. Namun ada kesenjangan informasi yang dimiliki oleh kedua pihak. Manajemen yang berkuasa atas sumber daya principal tentunya mempunyai akses informasi penuh atas kejadian yang terjadi dalam perusahaan. Laporan keuangan yang menjadi bentuk pertanggungjawaban dari manajemen kepada principal dibuat oleh manajemen. Walaupun laporan keuangan telah dibuat sesuai dengan standar-standar akuntansi yang berlaku. Tidak ada jaminan bahwa pertanggungjawaban manajemen itu telah dibuat sesuai dengan asas-asas laporan keuangan.
Ketimpangan informasi antara principal dan agen inilah yang memunculkan kebutuhan adanya pengawasan dari pihak eksternal. Adapun pengawasan ini yaitu dilakukan oleh auditor eksternal. Auditor eksternal disini berfungsi memberi jasa assurance kepada pihak principal.  Messier et all. (2006) menyatakan hubungan dasar antara pemilik dan manajer inilah yang melatarbelakangi perkembangan awal dari audit sehingga ada jasa audit di pasar bebas. Jasa audit di pasar bebas merupakan suatu pembuktian bahwa sebuah perusahaan tersebut mampu survive danbahkan berkembang dengan baik karena telah mampu memperoleh suatu pendapat yang wajar tanpa pengecualian. Dan pihak auditor eksternal yang melakukan audit tersebut, notabene memiliki kualitas internasional, contohnya saja the big four maka kualitas perusahaan tersebut juga akan dapat di pertanggungjawabkan di kancah internasional.
Karena itulah pada perkembangan berikutnya audit menjadi semakin dibutuhkan. Salah satu diantara jenis audit adalah audit eksternal. Audit eksternal dimaksudkan untuk mengaudit laporan keuangan. Saat ini, audit eksternal ini dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Audit ekternal adalah salah satu jasa yang disediakan oleh KAP. Atas jasa yang diberikan oleh KAP ini, tentu akan dikenakan biaya. Biaya atas jasa ini disebut juga audit fee. Audit fee dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya adalah sejauh mana perusahaan tersebut di lakukan suatu pengauditan terhadapnya, pemaparan bukti, penerapan waktu untuk pelaksanaan audit, sejauh mana perusahaan tersebut memang layak untuk di audit, dan bahkan masih banyak faktor untuk menentukan audit fee tersebut. Namun demikian, hingga saat ini standarisasi mengenai Audit Fee tersebut belum ada suatu kesepakatan yang mutlak di antara para auditor.
 Di negara Indonesia sendiri belum ada peraturan yang menetapkan besaran yang pasti dari audit fee. Oleh karenanya, nilai audit fee ini ditentukan dengan kebijakan masing-masing KAP. Audit fee harus dinilai berdasarkan atas pertimbangan dari faktor yang ada dan juga telah ditetapkan oleh IAI. Dengan demikian, seharusnya pihak yang mewadahi para auditor eksternal ini mampu menerapkan standarisasi mengenai audit fee, dengan tujuan tidak ada ketimpangan di antara berbagai KAP tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan suatu analisis terhadapnya. Dan kesetaraan audit fee tersebut adalah sangat penting dengan asumsi fee akan menentukan kualitas dan kuantitas dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seorang auditor eksternal.
Salah satu faktor yang mempengaruhi audit fee tentunya adalah penggunaan standar pengauditan. Adanya perbedaan antara standar tentu akan berdampak pada perencanaan dan kegiatan audit. Dan saat ini ada perubahan dalam standar pengauditan di Indonesia. Selayaknya pelaporan keuangan yang saat ini berkiblat ke IFRS, maka sejak 1 Januari 2013, pengauditan mulai berkiblat pada International Standards on Auditing (ISA). Baik ISA maupun IFRS berkiblat pada standar yang diciptakan oleh Masyarakat Uni Eropa. Sebelumnya, baik standar pelaporan maupun standar pengauditan yang dianut di Indonesia berasal dari Amerika Serikat. Tentunya ada perbedaan mendasar antara ISA dengan standar sebelumnya.
Tuanakotta (2013) menyebutkan ada perbedaan antara ISA dengan standar sebelumnya yang bersifat substantif  dan mendasar, yaitu pada ISA audit dilakukan (i) Berbasis risiko, (ii) Principle-based standards, (iii) Penggunaan professional judgement, (iv) Kearifan professional dan konsekuensinya, (v) pengendalian internal, (vi) those charged with governance. Perbedaan mendasar ini tentu akan membawa perbedaan desain dalam pengauditan yang selama ini dilakukan. Tentunya akan berpengaruh pada biaya yang kemungkinan meningkat. Dengan demikian, peningkatan sebuah standar pengauditan yang telah diterapkan mulai tahun 2013 di Indonesia, sampai saat ini belum dapat diimplementasikan secara sempurna. Analoginya, sebuah peningkatan terhadap standar pengauditan akan mampu memberikan peningkatan yang setara pula terhadap biaya yang harus dikeluarkan oleh  perusahaan ketika dilakukan audit terhadap perusahaan tersebut.
Peningkatan biaya harusnya juga meningkatkan manfaat yang timbul atas pengauditan dengan mengimplementasikan ISA. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah biaya implementasi ISA ini sebanding dengan manfaat yang dirasakan. Apalagi tuntutan untuk menyajikan informasi keuangan yang berkualitas semakin meningkat. Tentunya diharapkan implementasi ISA dapat meningkatkan kualitas audit sehingga informasi atas laporan keuangan semakin dapat terpercaya. Dan adanya informasi terpercaya akan membawa investor untuk masuk ke Indonesia sehingga mendukung keberhasilan program MP3EI.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis memberi judul “ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT TERHADAP IMPLEMENTASI INTERNATIONAL STANDARDS ON AUDITING (ISA) DALAM KEGIATAN PENGAUDITAN: PELUANG DAN TANTANGAN DI ERA MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ” pada karya tulis ini.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan  permasalahan yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah perkembangan implementasi International Standards on Auditing (ISA) dalam kegiatan pengauditan di Indonesia saat ini?
2.      Apakah pengimplementasian International Standards on Auditing (ISA) dalam suatu kegiatan pengauditan mempengaruhi peningkatan biaya audit?
3.      Apakah manfaat implementasi International Standards on Auditing (ISA) dalam suatu kegiatan pengauditan di Indonesia sebanding dengan peningkatan terhadap standarisasi biaya audit?
4.      Apakah implementasi International Standards on Auditing (ISA) dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk menilai kesiapan rakyat Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN ?
5.      Apakah penerapan International Standards on Auditing (ISA) dalam kegiatan pengauditan dapat diasumsikan sebagai suatu solusi untuk penetapan standarisasi biaya audit yang tepat yang sampai saat ini belum memiliki standar biaya yang jelas ?

1.3.Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.3.1.      Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah:
1.      Untuk mengetahui perkembangan implementasi International Standards on Auditing (ISA) dalam kegiatan pengauditan di Indonesia saat ini.
2.      Untuk mengetahui seberapa jauh pengimplementasian International Standards on Auditing (ISA) dalam suatu kegiatan pengauditan dapat mempengaruhi peningkatan biaya audit.
3.      Untuk mengetahui apakah manfaat pengimplementasian International Standards on Auditing (ISA) dalam suatu kegiatan pengauditan di Indonesia sebanding dengan peningkatan terhadap standarisasi biaya audit.
4.      Untuk mengetahui sejauh mana pengimplementasian International Standards on Auditing (ISA) dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk menilai kesiapan rakyat Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.
5.      Untuk mengetahui sejauh mana penerapan International Standards on Auditing (ISA) dalam kegiatan pengauditan dapat diasumsikan sebagai suatu solusi untuk penetapan standarisasi biaya audit yang tepat yang sampai saat ini belum memiliki standar biaya yang jelas.


1.3.2.      Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah:
1.      Bagi akademisi
Sebagai bahan kajian dan pengujian terhadap konsep pengimplementasian ISA  dalam suatu laporan keuangan serta pengaruhnya terhadap kualitas informasi akuntansi perusahaan, dan diharapkan menjadi suatu tolok ukur untuk menciptakan suatu keseragaman terhadap standar pengauditan yang tepat untuk menentukan biaya audit yang tepat pula.
2.      Bagi praktisi
Sebagai bahan masukan dan  pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan terkait pengimplementasian ISA, dengan demikian para praktisi diharapkan mampu mengambil suatu kebijakan yang lebih baik untuk menentukan suatu perusahaan yang memang benar-benar memiliki kualitas yang tinggi.
3.      Bagi Investor
Investor akan dapat menggunakan laporan keuangan yang sudah mengimplementasikan ISA, maka dari itu standar internasional ini diharapkan mampu memberikan penjelasan yang lebih baik untuk membantu para investor menetapkan investasi yang akan mereka lakukan.
4.      Bagi pemerintah
Sebagai bahan acuan dan pertimbangan bagi pemerintah atau badan yang berwenang membuat peraturan terkait dengan pengungkapan wajib audit fee, dengan demikian pemerintah diharapkan dapt menjadi wadah yang tepat untuk menentukan standar pengauditan yang akan digunakan untuk kepentingan menuju masyarakat ekonomi ASEAN.

 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Teori Agensi (Agency Theory)
Teori ini menjelaskan hubungan antara pemilik usaha (principal) dan manajemen (agen). Teori ini dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori Keagenan (Agency Theory) menjelaskan adanya konflik antara manajemen (agen) dengan pemilik (principal) yang berpotensi untuk merugikan kedua belah pihak. Manajemen cenderung untuk melakukan perilaku menyimpang untuk mencapai kepentingannya dan melupakan kepentingan dari principal.
Asumsi utama dari teori agensi adalah semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Manajemen menginginkan kompensasi yang tinggi atas hasil pekerjaan yang dilakukan oleh mereka. Kompensasi ini berupa gaji, tunjangan, bonus, dan berbagai bentuk insentif lainnya yang diberikan oleh principal  sehingga mendorong agen untuk terus mempertahankan dan meningkatkan kinerjanya sehingga pengembalian untuk principal mencapai angka yang maksimum. Sementara principal menginginkan pengembalian yang maksimum atas semua modal yang telah diberikan kepada perusahaan. Realisasi atas pengembalian dari modal ini dapat terlihat dari deviden yang dibagikan yang seharusnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dengan deviden yang terus meningkat biasanya akan mempengaruhi harga saham yang biasanya juga meningkat.
Namun, dikarenakan masing-masing pihak, baik agen maupun principal bertindak demi kepentingan diri mereka sendiri, hal ini mungkin akan menyebabkan adanya perbenturan antar kepentingan yang bisa merugikan salah satu maupun kedua belah pihak. Principal  yang ingin memperoleh pengembalian yang maksimum tidak serta merta mengabaikan kesejahteraan agen yang mereka pekerjakan. Principal  haruslah memberikan reward berupa insentif dalam berbagai bentuk yang tentunya sesuai dengan apa yang dihasilkan oleh agen. Masalahnya adalah reward yang diberikan ini tentunya tidak secara asal-asalan diberikan kepada agen. Haruslah ada pertimbangan-pertimbangan yang menyebabkan principal memberikan  reward yang setimpal dengan pengembalian yang akan diterima oleh principal. Penilaian untuk menentukan reward untuk agen ini berdasarkan kemampuan agen untuk memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian deviden. Secara umum, laba yang tinggi, deviden yang tinggi, biasanya juga akan berdampak ke harga saham yang meningkat pula. Bila kondisi ini tercapai, tentunya agen akan dinilai layak menerima insentif yang tinggi.
Sementara manajemen selaku agen sebelum diganjar imbalan yang tinggi oleh principal terebh dahulu haruslah berhasil memenuhi tuntutan dari pihak principal. Dalam hal ini, manajemen mempunyai keuntungan yang lebih dalam mengakses informasi yang ada dalam perusahaan.  Kelompok agen dan principal tidaklah memiliki jumlah informasi yang sama. Apalagi, sumber informasi utama yang dimiliki oleh principal adalah laporan keuangan perusahaan yang dibuat oleh manajemen selaku agen. Sudah pasti manajemen memiliki informasi menyangkut perusahaan lebih banyak dan mendalam dibandingkan dengan apa yang diterima oleh principal. Jika asumsinya semua individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan masing-masing, celah ini pasti akan dimanfaatkan oleh manajemen dengan cara memberikan informasi yang menunjukkan superioritas dari agen sehingga principal memberi insentif yang tinggi. Namun, hal ini tentu merugikan bagi pihak principal.
Oleh karena itu, perlu diadakan pengawasan atas kinerja dari agen, sehingga risiko yang akan diterima oleh principal atas segala modal yang ditanamkan menjadi minimal. Agen secara alamiah akan berusaha untuk terlihat sempurna di mata principal karena adanya celah berupa asimetri informasi antara dua kelompok. Pada celah ini, bisa saja agen melakukan Creative Accounting yang menyimpang, yaitu dengan melakukan manajemen laba (Earnings Management).


2.2.Asimetri Informasi
Asimetri Informasi adalah keadaan dimana manajer memiliki informasi atas prospek ke depan suatu perusahaan dimana informasi ini tidak dimiliki oleh pihak luar selain perusahaan. Hal inilah yang merupakan perbedaan  mendasar antara kelompok agen dan principal. Pada prinsipnya baik kelompok agen maupun kelompok principal sama-sama ingin memperoleh keuntungan maksimum bagi mereka sendiri.
Hal ini selaras dengan Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan jika kedua kelompok (agen dan prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.
Laporan keuangan merupakan alat komunikasi keuangan perusahaan yang dibuat oleh manajemen untuk kepentingan tidak hanya pihak internal perusahaan juga pihak eksternal perusahaan. Laporan keuangan adalah informasi yang diberi pihak manajemen kepada pihak principal seperti investor sehingga dengan adanya informasi ini maka principal juga dapat membuat keputusan yang tepat guna memaksimumkan keuntungannya.
Namun demikian, laporan keuangan ini dibuat oleh manajemen dengan standar-standar kebijakan akuntansi yang ditentukan terlebih dahulu oleh manajemen (agen). Manajemen memiliki keleluasaan untuk memanipulasi laporan keuangan yang nantinya akan digunakan investor untuk membuat keputusan. Hal inilah yang merupakan bentuk ketimpangan atas informasi yang dimiliki manajemen dan investor yang merugikan. Maka dari itu harus dilakukan tindakan antisipasi agar ketimpangan ini dapat diminimumkan.
Pada dasarnya, Ada dua tipe asimetri informasi, yaitu :
1.      Adverse Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para investor luar.
2.       Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.
2.3.Manajemen Laba (Earnings Management)
Manajemen laba (Earnings Management) adalah proses dimana manajer memiliki kemampuan untuk menggunakan deskresi yang mereka miliki untuk menyesatkan stakeholders atau mempengaruhi hasil kontraktual mereka dengan owner (Healy dan Wahlen, 1998). Subramanyam dan Wild (2008) menyatakan manajemen laba dapat berupa kosmetik, jika manajer memanipulasi akrual laba yang tidak memiliki konsekuensi arus kas. Rusli (2009) menyatakan manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (menurunkan) laba yang dilaporkan saat kini dari suatu unit yang menjadi tanggung jawab manajer tanpa mengaitkan dengan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang.
Dari berbagai definisi yang ada, terdapat suatu kesamaan pada setiap definisi yang dikemukakan, yaitu laba yang seolah-olah meningkat, namun tidak ada manfaat ekonomi yang dirasakan oleh pemilik. Manajemen laba ini adalah bentuk tindakan yang ditempuh oleh manajer terkait dengan agency theory. Menurut Scott (2003) terdapat dua cara untuk memahami manajemen laba. Pertama, sebagai perilaku oportunistik manajemen untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kompensasi, kontrak utang dan biaya politik. Kedua, memandang manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka sendiri dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak terduga untuk keuntungan semua pihak yang terlibat dalam kontrak.
Adapun pola-pola manajemen laba pada prakteknya menurut Scott (2005) dalam Atiqah (2012) yaitu:
1.      Taking a bath
Pola manajemen laba yang melaporkan laba pada periode berjalan dengan nilai yang sangat rendah atau sangat tinggi.
2.      Income minimization
Pola manajemen ini seperti taking a bath tapi tidak se-ekstrim pola taking a bath. Menjadikan laba di periode berjalan lebih rendah dari pada laba sesungguhnya.
3.      Income maximization
Pola manajemen laba ini berkebalikan dengan income minimization. Melaporkan laba lebih tinggi dari pada laba sesungguhnya.
4.      Income smoothing
Pola manajemen laba yang paling menarik yaitu dengan cara melaporkan tingkatan laba yang cenderung berfluktualisasi yang normal pada periode-periode tertentu.
Adapun motivasi terjadinya manajemen laba menurut Scott (2003) dalam Atiqah (2012):
1.      Bonus purposes
Manajer akan melakukan tindakan oportunistik dengan memaksimalkan laba saat ini untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi.
2.      Political motivation
Banyak perusahaan memiliki politik yang terlihat. Terutama untuk perusahaan yang menaungi hajat hidup banyak orang seperti perusahaan minyak, gas, dll. Beberapa perusahaan melakukan earnings management untuk mengurangi visibilitasnya.
3.      Taxation motivation
Pajak pendapatan mungkin motivasi yang paling nyata dari manajemen laba. Otoritas perpajakan cenderung memaksakan peraturan akuntansi mereka dalam menghitung pajak pendapatan, mengurangi ruang lingkup perusahaan untuk melakukan manuver.
4.      Perubahan CEO
Beberapa dari motivasi manajemen laba ada pada saat adanya perubahan CEO. Hipotesis perencanaan bonus memprediksikan bahwa pengunduran diri CEO akan beberapa terlibat dalam strategi maksimalisasi laba untuk meningkatkan bonus mereka.
5.      IPO
Perusahaan yang akan melakukan IPO belum memiliki nilai pasar yang telah terbangun. Dan memungkinkan manajer dari perusahaan going public akan melakukan manajemen laba untuk menaikkan harga saham mereka.
6.      Informasi kepada investor
Manajemen  tipikalnya akan memberikan informasi yang terbaik tentang prospek laba masa depan kepada investor. Dengan memberikan memberikan estimasi yang baik pada kekuatan laba maka dapat meningkatkan nilai pasar saham.
Pada akhirnya tindakan manajemen laba ini tentunya merugikan pihak owner, investor, dan calon investor. Hal ini karena owner, investor, dan calon investor sangat dirugikan karena laporan keuangan sebagai informasi yang digunakan oleh mereka untuk mengambil keputusan investasi salah. Oleh karenanya sebisa mungkin, laporan keuangan seharusnya menunjukkan informasi yang paling mendekati kondisi perusahaan yang sebenarnya, bukan manajemen laba.
Dapat dikatakan bahwa semakin baik kualitas laporan keuangan maka informasi yang terkandung di dalamnya bebas akan manajemen laba. Maka, pengauditan laporan keuangan yang baik adalah yang dapat mendeteksi manajemen laba yang dilakukan. Tentunya biaya audit akan meningkat sesuai dengan tingkat kesulitan dari perusahaan yang ada.
2.4.Teori Deep Pocket (Deep Pocket Theory)
Teori ini menjelaskan hubungan  cateris paribus antara insentif yang diterima auditor dengan opini yang diberikan. Teori ini dikembangkan oleh Simunic (1996). Dalam teori ini, risiko litigasi lebih besar terjadi pada auditor Big Four daripada Non Big Four apabila auditor memiliki kesalahan dalam memberikan opini “ Wajar Tanpa Pengecualian”. Risiko Litigasi didefinisikan sebagai risiko yang melekat pada pada perusahaan yang memungkinkan terjadinya ancaman litigasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan yang merasa dirugikan. Pihak-pihak yang berpentingan tersebut meliputi kreditor, investor, dan regulator. (Juanda, 2005).
Chrisnoventie dan Raharja (2012) menyebutkan auditor yang memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi memiliki insentif yang lebih besar khususnya saat klien memiliki tingkat risiko litigasi yang lebih tinggi, secara efektif memonitor sistem pelaporan keuangan untuk menghindari atau mengurangi kerugian moneter. Hal ini terkait pada biaya audit yang akan dikeluarkan oleh perusahaan. Tentunya perusahaan yang besar memiliki risiko litigasi yang besar sehingga untuk mengauditnya KAP butuh insentif yang lebih besar lagi karena jika dikemudian hari terjadi hal-hal yang merugikan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan, KAP dapat meminimalkan kerugian yang akan dideritanya terkait reputasi KAP, dan tuntutan lainnya.
2.5.Teori Regulasi
Teori regulasi menyatakan perekonomian terpusat adalah alas an dalam melindungi kepentingan umum. Secara teori, legislatif membuat peraturan untuk melindungi kepentingan ekonomi.  Dapat dikatakan bahwa pembentukan regulasi yang ada itu didasarkan atas kepentingan-kepentingan  setiap kelompok secara keseluruhan. Regulasi dibentuk tidak berdasarkan hanya satu kepentingan saja. Setiap konsekuensi dari regulasi haruslah diterima oleh setiap kepentingan ekonomi yang terkait (pengguna). Menurut Hendriksen (2005) dalam Ulfasari (2014) konsekuensi ekonomi yang diterima oleh pengguna adalah sebagai berikut:


Tabel
Konsekuensi Ekonomi
Pengguna
Konsekuensi
Perusahaan/korporasi
Biaya penerbitan laporan keuangan
Perbedaan volatilitas angka laporan keuangan
Manajemen
Perilaku manajemen
Masyarakat
Persepsi atas perusahaan
Investor dan kreditor
Keputusan keuangan

Saat ini negara Indonesia sudah membentuk kebijakan baru, yaitu pengadopsian ISA sebagai standar auditing yang berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 2013.  Jauh sebelum pengadopsian ISA, Indonesia juga mengadopsi standar pelaporan keuangan IFRS. Pada dasarnya, IFRS jauh lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan ISA. Hal ini dikarenakan, IFRS merupakan standar pelaporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan tidak terbatas hanya pada bentuk, ukuran, latar belakang investasi. IFRS adalah standar pelaporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen. Sementara ISA merupakan standar pengauditan eksternal yang sudah tentu memiliki cakupan pasar yang lebih spesifik, yaitu KAP selaku pelaku pengaudit eksternal perusahaan. Namun demikian, baik IFRS maupun ISA dipublikasi oleh satu badan organisasi yang sama, yaitu IFAC.
Perubahan regulasi tentunya akan memberikan dampak pada setiap kepentingan. Diharapkan, perubahan regulasi dengan jalan mengadopsi ISA dapat memberikan nilai tambah kepada setiap kepentingan. Namun demikian, Tuanakotta (2013) menyebutkan bahwa target utama yang nantinya akan menikmati nilai tambah atas pengadopsian ISA adalah para investor dan calon investor. Ini mungkin dikarenakan dengan meningkatnya kualitas atas audit tentunya akan memberikan nilai tambah atas kualitas informasi dari laporan keuangan dari perusahaan yang saat ini sudah mengadopsi IFRS.
Tapi, meskipun terdapat nilai tambah atas pengadopsian ISA, tentunya ada harga yang harus dibayar untuk memperoleh nilai tambah ini. Tuanakotta (2013)  mengatakan ada peningkatan atas beban audit yang tidak selamanya tercermin dalam tambahan fee. Beban audit yang ada di KAP sendiri tidak selamanya dibebankan secara langsung ke fee yang diterima dari perusahaan. Lebih lanjut mengenai fee dijelaskan pada bagian berikutnya.
2.6.ISA
ISA (International Standards on Auditing) adalah  standar auditing internasional yang dikeluarkan oleh IFAC (the International Federation of Accountants). IFAC merupakan organisasi yang membidangi standar-standar akuntansi, auditing, kode etik, kendali mutu, dan lain-lain, pada tatanan global. Dan IAASB (the International Auditing and Assurance Standards Board) yang membuat program International Standards on Auditing (ISA). Pada bulan Maret 2009, IAASB mengumumkan penyelesaian program mengenai kejelasan ISA yang dikenal Clarity Project. Program ini menerapkan konvensi baru mengenai penyusunan draf (new drafting conventions) pada seluruh ISA, sebagai bagian dari revisi substantive (substantive revision) maupun penyusunan draf ulang secara terbatas (limited redrafting).
Pada dasarnya, antara standar auditing yang lama dengan ISA terdapat perbedaan. Menurut Tuanakotta (2013), perbedaan ISA dengan standar audit sebelumnya akan terlihat perubahan yang substantif dan mendasar. Adapun perubahan itu yaitu:
1.      ISA lebih menekankan aspek risiko dibandingkan dengan standar audit sebelumnya. Maka itu, ISA juga dikenal dengan audit berbasis risiko (risk-based audit)
2.      ISA adalah standar-standar berbasis prinsip (principles-based standards), sementara standar audit yang lama berbasis aturan (rule-based standards).
3.      ISA cenderung menekankan pada penggunaan professional judgement, sementara standar audit yang lama cenderung pada pendekatan model matematis.
4.      Pada segi pengendalian internal, ISA menekankan pada kewajiban entitas dan kewajiban auditor serta komunikasi dengan manajemen dalam hal auditor menemukan defisiensi dalam pengendalian internal. Sementara standar audit yang lama berkonsep seolah-olah prosedur audit selanjutnya dan reviu atas pengendalian internal adalah berdiri sendiri.
5.      ISA menekankan berbagai kewajiban entitas dan manajemen juga menekankan perlunya orang atau lembaga wewenang yang cukup dalam mengawasi enititas yang disebut those charged with governance.
Dari perbedaan-perbedaan yang ada, terlihat jelas bahwa antara ISA dengan standar yang berbeda punya kerangka pikir yang berbeda sehingga otomatis model pengauditan keduanya tidaklah sama. Perlu ada pembelajaran-pembelajaran dan penyesuaian yang dilakukan oleh pengaudit sehingga dapat mengaudit yang sesuai dengan ISA. Jika diasumsikan pengauditan menggunakan ISA dapat meningkatkan mutu audit, maka sudah tentu pengauditan ini membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan oleh pengauditan menggunakan standar audit yang sebelumnya. Dan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, beban audit yang ditanggung KAP tidak serta merta tercermin dalam biaya audit. Namun meskipun demikian, tetap saja ada pengaruh atas pengimplementasian ISA pada audit fee yang dibayarkan oleh perusahaan yang mengaudit laporan keuangannya. Penjelasan audit fee ini akan dijelaskan di bagian selanjutnya.
2.7. Audit Fee
Imbalan atas jasa yang diterima oleh auditor atas jasa auditnya ini disebut audit fee. Besarnya audit fee dipengaruhi oleh beragam faktor. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik (2000) menyebutkan besarnya audit fee yang diterima oleh auditor dapat bervariasi dan dipengaruhi oleh: (i) risiko  penugasan, (ii) kompleksitas jasa yang diberikan, (iii) tingkat keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan jasa tersebut, (iv) struktur biaya KAP yang bersangkutan, dan (v) pertimbangan  professional lainnya.
Pengadopsian ISA ini tentunya berdampak pada biaya. Kohler  (2009) membuat perkiraan kenaikan biaya atas pengadopsian ISA dalam kerangka penerapan ISA oleh negara-negara Masyarakat Uni Eropa. Dalam studi ini ada dua pengelompokan biaya atas audit. Adapun pengelompokan ini yakni biaya yang berulang-ulang terjadi setiap tahun (recurring cost) dan biaya yang sekali terjadi (one-off costs). Kohler (2009) menyatakan recurring costs  yang mempengaruhi pasar audit dibandingkan one-off costs. Secara keseluruhan ada kenaikan biaya yang dikeluarkan oleh KAP big four  maupun KAP lainnya di Uni Eropa. Kenaikan recurring costs kebanyakan diakibatkan oleh desain ulang karena  ISA yang direvisi. Namun demikian kenaikan baya bervariasi antara satu jurisdiksi dibandingkan dengan jurisdiksi lain, tergantung dari kantor akuntan, penugasan audit dan negara anggota Uni Eropa.
Atas audit fee yang nantinya akan dibayarkan oleh perusahaan yang menggunakan jasa audit ini menurut Tuanakotta (2013) tidak selamanya tercemin dalam tambahan. Lebih lanjut Tuanakotta (2013) mengatakan beban audit dalam tahun-tahun pertama sangat signifikan; berupa biaya pendidikan dan pelatihan, penerbitan kembali pedoman audit yang dipakai KAP, sampai opportunity cost karena partner harus mengikuti pelatihan atau memberi pelatihan kepada stafnya atau memberi penjelasan kepada kliennya dan lebih banyak waktu partner (dalam ketentuan ISA) pada setiap perikatannya.
Di negara Indonesia, Adopsi ISA dalam audit laporan keuangan periode yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2013. Hal ini berarti, laporan keuangan yang beredar saat ini di Indonesia yng telah mengadopsi ISA adalah laporan keuangan pada tahun 2013. Dengan demikian Indonesia resmi memasuk tahun pertama pengimplementasian audit. Jika dikaitkan dengan apa yang disampaikan sebelumnya, tentunya ada banyak biaya yang dikeluarkan oleh KAP selama tahap implementasi. Artinya untuk mendapatkan manfaat atas pengimplementasian ISA terdapat biaya yang harus dikorbankan tidak hanya oleh KAP selaku pengaudit, juga perusahaan selaku pengguna jasa audit.
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, perbedaan-perbedaan antara kebijakan adopsi ISA dapat menyebabkan perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh KAP dalam mengaaudit laporan keuangan, Berdasarkan Surat Keputusan No. KEP.024/IAPI/VII/2008 tentang Kebijakan Penentuan Fee Audit yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, penentan fee audit sebaiknya mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
1.      Kebutuhan klien
2.      Tugas dan tanggung jawab menurut hukum
3.      Independensi
4.      Tingkat keahlian
5.      Tanggung jawab yang melekat pada pekerjaan yang dilakukan
6.      Tingkat kompleksitas pekerjaan
7.      Banyaknya waktu yang diperlukan dan secara efektif digunakan oleh akuntan public dan staffnya untuk menyelesaikan pekerjaan
8.      Basis penetapan fee yang disepakati.
Kendati kebijakan penentuan fee audit sudah dikeluarkan, namun tidak ada ukuran tarif yang pasti atas jasa audit. Tentunya ini merupakan kebijakan setiap KAP yang bersangkutan. Apalagi dengan ISA sebagai panutan standar audit yang menitikberatkan pada professional judgement dalam menentukan biaya audit tentu mempertimbangkan sesuai dengan pertimbangan profesionalnya.  Dapat diasumsikan bahwa KAP dengan pengalaman yang hampir sama kemungkinan besar akan memasang tarif yang tidak jauh berbeda.Hal ini akan memungkinkan keseragaman tarif antara KAP dengan tingkat professional yang sama.



BAB III
METODE PENULISAN
3.1. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah studi pustaka. Dalam penulisan karya tulis ini, penulis melakukan berbagai analisis mengenai pengimplementasian ISA di Indonesia. Analisis tersebut dilakukan dengan mempelajari beberapa buku yang menjadi acuan untuk memahami problematika yang ada di dalam penerapan ISA tersebut. Selain itu, penulis juga memanfaatkan perpustakaan Universitas Sumatera Utara sebagai suatu bentuk aplikasi untuk penyelesaian karya tulis ini. Sama halnya dengan penggunaan fasilitas internet sebagai sarana untuk melakukan akses dalam pemahaman mengenai pengimplementasian ISA di Indonesia. Dengan demikian penyelesaian karya tulis ini kami lakukan dengan berbagai analisis dan pembelajaran secara kepustakaan. Selain itu penulis juga banyak mempelajari berbagai karya tulis dan penelitian terdahulu mengenai penerapan ISA di Indonesia.
           

 
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Analisis Permasalahan
 4.1.1 Perkembangan Pengimplementasian International Standards on Auditing (ISA) dalam Kegiatan Pengauditan di Indonesia Saat Ini
Penerapan ISA di Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang dianggap baru oleh sebahagian kalangan. Melalui Konvensi Nasional Akuntan Indonesia pada tahun 2004 telah diputuskan bahwa Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akan melakukan adopsi sepenuhnya (full adoption) Internatioanl Auditing and Assurance Standards (ISA) yang diterbitkan oleh Internasional Federation of Accountants (IFAC). Sama halnya dengan standarisasi laporan keuangan dimana Indonesia sudah mulai mengadopsi IFRS sejak tahun 2012, walaupun belum mampu melakukan adopsi secara murni, tetapi perlahan Indonesia mampu untuk mengimplementasikannya. Keputusan konvensi IAI ini sejalan dengan kewajiban keanggotaan IFAC yang dicantumkan dalam Statement of Membership Obligation (SMO) No. 3. Dalam SMO No. 3 tersebut antara lain disebutkan “ Member bodies should use their best endeavors: a) to incorporate the internasional standards issued by the IAASB into their national standards or related other pronouncements….”
Mungkin menjadi pertanyaan mengapa IAI menjadi anggota IFAC, yang salah satu konsekwensinya akan mewajibkan IAI melakukan adopsi ISA. Pada dasarnya, Indonesia harus mampu mengikuti perkembangan dengan baik tidak terkecuali perkembangan mengenai penerapan standar international untuk kegiatan pengauditan. Menurut Syarif Basir “IAI menjadi anggota IFAC karena adanya keinginan dari para akuntan Indonesia untuk memajukan profesi akuntan di Indonesia”. Hal ini juga melatabelakangi bahwa profesi akuntan merupakan suatu profesi yang senantiasa mengalami perkembangan dengan pesat. Artinya profesi akuntan harus mampu menerima berbagai globalisasi, kemajuan, atau apapun yang bersifat membangun untuk meningkatkan kualitas para akuntan Indonesia tersebut.
Penerapan ISA di Indonesia belum dapat dilakukan secara murni ataupun seutuhnya. Hal ini membutuhkan berbagai penyesuaian bagi para akuntan di Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri ketika ISA dapat diterapkan secara murni, maka dapat diyakinkan bahwa standarisasi akuntan Indonesia terkhusus auditor eksternal akan meningkat secara signifikan. ISA sendiri pada saat ini sudah diadopsi di banyak negara anggota IFAC, beberapa negara sudah melakukan full adoption, dan sebagian negara masih menyisakan beberapa seksi yang belum diadopsi. Dengan semakin banyaknya negara yang menjadi anggota IFAC maka pada saatnya nanti seluruh negara anggota IFAC akan menerapkan ISA sebagai standar profesional akuntan publiknya masing-masing.
Di Indonesia sejatinya ISA bukan hal yang baru. SPAP 2001 sudah melakukan adopsi atas sepuluh standar audit internasional tersebut. Sepuluh standar yang diadopsi dari ISA antara lain ISA 310 : Knowledge of the Business, ISA 401: Auditing in a Computer Information Systems Environment, dan ISA 510: Initial Engagements-Opening Balance. Namun seperti diuraikan di atas, mengingat SPAP sejak tahun 2001 relatif stagnan, maka Standar yang diadopsi tersebut sudah tidak up-to-dated lagi dengan ISA yang baru (2007). Oleh karena itu, yang akan dilakukan oleh IAI dalam rangka adopsi ini adalah melakukan adopsi penuh (full adoption) atas ISA terkini (Current ISA). Dengan demikian bukan hanya melakukan revisi atas beberapa standar internasional yang telah diadopsi SPAP, tetapi seluruh isi SPAP akan digantikan dengan standar-standar yang ada dalam Handbook of Internasional Auditing, Assurance, and Ethic Pronouncements terbitan IFAC tersebut.
Menurut informasi yang diperoleh penulis dan disampaikan oleh Syarif Basir bahwa, dari jumlah seksi yang ada pada ISA sebanyak 40 seksi, telah diterjemahkan sebanyak 33 seksi, atau 83% dari seluruh seksi ISA. Kemudian yang masih harus dilakukan DSPAP adalah melakukan proses editing terjemahan dan dilanjutkan dengan mempelajari kesesuaian aturan-aturan dalam standar tersebut dengan kondisi Indonesia, dan seterusnya tahapan dari suatu due process procedure. Proses mempelajari kesesuian ISA dengan kondisi Indonesia pada dasarnya merupakan proses penilaian keterterapan (applicability) suatu standar, yang apabila ternyata beberapa isi dari ISA tersebut tidak sesuai maka proses modifikasi perlu dilakukan. Dengan proses ini akhirnya diharapkan bahwa ISA yang diadopsi dan dimodifikasi akan sesuai dengan kondisi Indonesia dan sekaligus SPAP yang baru sebagai hasil adopsi ISA mendapat pengakuan dari IFAC sebagai suatu standar yang conform dengan ISA.

4.1.2. Implementasian International Standards on Auditing (ISA) dalam Suatu Kegiatan Pengauditan Mempengaruhi Peningkatan Biaya Audit
Pengimplementasian ISA dalam suatu kegiatan audit mampu meningkatkan biaya audit hal ini dikarenakan adanya suatu peningkatan standarisasi audit untuk suatu perusahaan. Analoginya, ketika suatu standarisasi meningkat, maka kinerja dan kualitas dari suatu kegiatan pengauditan tersebut juga akan meningkat. Hal ini sejalan dengan biaya audit yang akan di berikan kepada auditor-auditor eksternal. ISA akan memberikan sebuah standar baru yang bertaraf internasional, dimana setiap negara harus mampu menerapkannya jika mau diakui keberadaannya secara internasional. Perlu adanya berbagai penyesuaian untuk menerapkan ISA secara mutlak. Akuntansi tetap berkiblat terhadap USA namun, akuntansi merupakan sebuah ilmu yang senantiasa mengalami perkembangan secara lebih baik menuju suatu kesempurnaan.
Biaya audit yang pada mulanya belum memiliki standarisasi yang jelas di Indonesia sendiri, namun ISA seharusnya akan memperjelas dan menyempurnakan standarisasi untuk biaya audit tersebut. Suatu peningkatan standarisasi akan mampu meningkatkan sebuah paparan-paparan informasi yang akan disampaikan oleh laporan keuangan tersebut. Informasi yang semakin baik dan jelas akan meningkatkan berbagai peluang untuk setiap kalangan, maka dari itu penerapan ISA diharapkan tidak hanya meningkatkan standarisasi laporan keuangan, tetapi juga mampu memberikan pemaparan yang lebih jelas dan dapat dipahami oleh setiap pihak.
Setiap auditor harus mampu meningkatkan kualitas dirinya untuk dapat menjadi seorang auditor yang baik dalam melakukan pekerjaannya. Di Indonesia sendiri ISA masih sangat jauh dari kata sempurna dalam penerapannya, namun berbagai sosialisasi dan motivasi untuk beranjak dari standar audit yang lama menuju ISA sudah terus digalakkan dengan baik. Dengan demikian, biaya audit memang harus di sepakati bersama dengan suatu standarisasi yang baik dan akan memberikan gambaran menganai kualitas kinerja yang akan diberikan kepada klien. Satu hal yang pasti biaya audit tidak digunakan untuk membeli opini auditor. Dengan demikian standarisasi yang tinggi dan lebih baik seperti ISA harus mampu meningkatkan idealitas dan intelektualitas para auditor, dan semua ini memiliki korelasi yang akan berdampak positif terhadap kegiatan pengauditan.

4.1.3. Manfaat Implementasi International Standards on Auditing (ISA) dalam Suatu Kegiatan Pengauditan di Indonesia Sebanding dengan Peningkatan Terhadap Standarisasi Biaya Audit
Implementasi ISA di Indonesia memberikan manfaat yang sebanding dengan biaya yang dikelurkan oleh klien terhadap auditor. Statement ini pada dasarnya belum merupakan sebuah pernyataan mutlak yang dapat dipercaya. Hak ini seiring dengan berjalannya waktu dimana laporan keuangan tersebut belum mampu menerapkan ISA dalam waktu yang cepat. Bagaimana mungkin kita dapat menyatakan secara lantang bahwa implementasi ISA memberikan cost dan benefit yang sebanding. Namun demikian, penerapan ISA di Indonesia tetap di haruskan jika kita mau bersaing secara berdampingan dengan negara-negara asing di dunia, dikarenakan adanya globalisasi.
Dalam Workshop dan Bedah Buku yang bertajuk Audit Berbasis ISA (31/5) yang lalu, Theodorus M. Tuanakotta, MBA. selaku penulis buku yang berjudul serupa menjelaskan seluk beluk audit berbasis ISA serta berbagai kelebihannya. Pria yang telah berpengalaman menjadi akuntan publik selama 35 tahun ini menuturkan bahwa ISA mengandung desakan yang lebih besar bagi auditor untuk menemukan kecurigaan. ISA lebih menekankan pada identification (pengidentifikasian hal yang belum dilihat), bukan assessment (penilaian sesuatu yang dilihat). Meski demikian, ia juga mengamini bahwa substansi ISA itu masih hampir sama dengan standar yang digunakan sebelumnya. Selain itu Theo juga menekankan bagaimana seharusnya peran seorang auditor. "Auditor pada dasarnya adalah anjing penjaga, bukan pelacak. Artinya, auditor hanya bertugas memberitahu," tambahnya.
Dengan demikian, perlu adanya pendidikan dan pemahaman ekstra mengenai suatu kegiatan audit yang seharusnya dilakukan oleh para auditor. Selain itu, dalam melakukan kegiatan audit berbasis ISA ini, setiap auditor akan memberikan suatu pembuktian yang jauh lebih baik dalam melakukan penganalisisannya. Hal ini tentunya akan meningkatkan kepercayaan para pengguna laporan keuangan untuk memahami bahwa laporan tersebut telah dapat dipercaya secara lebih baik. Maka hal ini juga yang akan meningkatkan biaya dan manfaat yang sebanding. Yang menjadi permasalahan adalah semua negara tidak memiliki kondisi dan situasi yang sama. Dengan demikian ISA belum mampu diterapkan secara sempurna di Indonesia.
Sementara itu, Prof. Indra Bastian, MBA. menerangkan kesulitan penerapan ISA di Indonesia. Indra menekankan bahwa ISA memang baik, akan tetapi dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu agar lebih siap diimplementasikan. Ia menyarankan agar membuat ISA lebih user-friendly untuk Indonesia. "Caranya adalah dengan mengadaptasi, bukan mengadopsi. Di Perancis hanya 20% dari ISA yang diikuti. Sedangkan Indonesia lebih bebas," terangnya.
Drs. Sugiarto, M.Acc., MBA., CMA., selaku Ketua Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAK) FEB UGM menuturkan pula tentang amat pentingnya pemahaman terhadap ISA ini. Menurutnya, globalisasi menuntut auditor untuk cepat beradaptasi dengan standar internasional. Pengetahuan serta pemahaman terhadap ISA amat penting tidak hanya bagi praktisi, tapi juga akademisi dan mahasiswa. ISA menyimpan berbagai kelebihan yang juga menuntut kesiapan dari negara pelaksananya. Hal ini juga menyebabkan adanya kemungkinan peningkatan biaya dan manfaat yang sebanding.

4.1.4. Implementasi International Standards on Auditing (ISA); Persiapan Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Berdasarkan pengalaman negara lain yang sudah terlebih dahulu mengadopsi ISA sebagai standar auditing negaranya, tentunya mereka sudah terlebih dahulu merasakan hambatan dan tantangan dalam pengimplementasian ISA sebagai standar audit laporan keuangan. Saat ini trennya adalah negara yang mengadopsi IFRS sebagai standar akuntansi di negaranya akan mulai mengadopsi ISA sebagai standar auditing yang dipublikasikan oleh IFAC. Mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, Indonesia yang telah mengadopsi IFRS sebagai standar laporan keuangannya juga harus menerapkan ISA sebagai standar pengauditan laporan keuangan di negaranya.
Sudah bukan isu lagi bahwa saat ini dunia tengah membuat standarisasi pelaporan keuangan dan pengauditan laporan keuangan yang dapat diterima secara internasional dan digunakan di seluruh dunia. Dengan adanya standar yang sama dapat dibilang bahwa ‘bahasa laporan keuangan’ antar negara akan menjadi sama. Dan dengan bahasa yang sama ini tentu informasi yang diperoleh setiap pengguna laporan keuangan adalah sama. Ini berarti investor yang masuk ke setiap negara tidak lagi terbatas pada investor dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Hal ini semakin membuka lebar kesempatan setiap negara untuk memperoleh investor sehingga dapat menyukseskan pembangunan di setiap negara.
Hal ini tentunya, merupakan kesempatan besar untuk negara Indonesia. Kesempatan yang besar ini tentunya diikuti dengan tantangan yang besar pula. Sebuah tantangan bagi Indonesia untuk sesegera mungkin menguasai standar internasional yang digunakan. Saat ini persaingan sudah mencapai tingkat global. Disamping sumber daya manusia yang mampu bersaing, maka fasilitas untuk mendayagunakan sumber yang ada juga harus mumpuni. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pada tahun 2015 nanti, Indonesia siap ataupun tidak siap, harus segera mampu bersaing dengan negara-negara lainya ,khususnya negara-negara di kawasan ASEAN dalam segala aspek ekonominya. Hal ini terjadi sebagai dampak pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) atau dikenal juga dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan tercapai tahun 2015. Munculnya AEC ini bersamaan dengan fase kedua dari rencana jangka panjang pembangunan Indonesia yang dikenal juga dengan MP3EI. Dan implementasi ISA adalah salah satu tindakan yang diambil oleh negara Indonesia untuk mempersiapkan diri menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN dan mendukung rencana jangka panjang Indonesia MP3EI.
Sebagaimana diketahui bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam rangka menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan serta meningkatkan standar hidup penduduk negara anggota ASEAN yang direncanakan akan tercapai pada tahun 2015. Bila ini berhasil diwujudkan, maka nantinya ASEAN akan menjadi pasar tunggal berbasis produksi tunggal sehingga arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara negara ASEAN. Hal ini berarti para pemilik modal yang berkewarganegaraan salah satu di negara ASEAN nantinya akan lebih bebas untuk menyalurkan dananya ke negara yang mana saja ia tuju. Hal ini merupakan sebuah kesempatan emas bagi Indonesia untuk mendapatkan modal dari para investor itu sehingga MP3EI fase kedua dapat sukses terlaksana.
Namun sebagaimana diketahui, para Investor-investor itu tidak menaruh modal yang mereka miliki secara sembarang. Sudah ada penilaian-penilaian yang mereka lakukan sehingga menjatuhkan pilihannya untuk berinvestasi di suatu negara. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menggaet perhatian investor sehingga menaruh minatnya pada perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Dan sebelum Indonesia dapat menarik perhatian para investor sudah pasti Indonesia haruslah dapat menunjukkan kelebihan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Dan salah satu sarana untuk mempromosikan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh perusahaan adalah laporan keuangan. Laporan keuangan yang dimaksud adalah laporan keuangan yang dapat dibaca dan dipahami oleh investor. Oleh karena itu laporan keuangan harus dibuat sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang sudah diterapkan oleh banyak negara, yaitu IFRS. Dengan demikian informasi-informasi yang terkandung dalam laporan keuangan dapat tersampaikan dengan baik ke tangan investor.
Meskipun telah digunakan IFRS sebagai standar laporan keuangan yang beredar di Indonesia ternyata tidaklah cukup. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa laporan keuangan dibuat oleh pihak internal manajemen setiap masing-masing perusahaan. Tidak ada jaminan bahwa apa yang dilaporkan oleh perusahaan dibuat sesuai dengan standar pelaporan yang benar. Dan kendati sudah sesuai dengan standar, juga tidak ada jaminan kalau informasi yang terkandung dalam laporan keuangan sudah menunjukkan realita yang sebenarnya dan bukan laporan keuangan yang dipercantik sehingga menjadi lebih layak dari apa yang seharusnya.
Dan disinilah peran audit, sebagai pihak penengah antara pihak eksternal dan internal dari perusahaan. Auditor eksternal selaku pengaudit laporan keuangan dapat memberikan keyakinan yang memadai untuk menyatakan opininya atas laporan keuangan perusahaan. Dan semakin baik opini atas laporan keuangan itu, maka semakin besar kemungkinan laporan keuangan itu menampilkan informasi yang sesuai dengan realita yang ada.
Untuk mengaudit laporan keuangan tentunya harus ada standar-standar yang dipakai. Sebelumnya Indonesia menggunakan standar audit yang berasal dari Amerika Serikat. Masalahnya adalah saat ini Indonesia sudah mengadopsi IFRS yang berasal dari Eropa. Memang jauh sebelum Indonesia mengadopsi IFRS ,kendati tidak ada pernyataan khusus, Indonesia memiliki standar akuntansi yang sangat mirip dengan yang dipublikasikan oleh Amerika Serikat. Tentunya standar auditing yang lama ini tentunya didesain sesuai dengan standar akuntansi Indonesia yang lama. Dan ketika IFRS sudah berlaku, tentunya harus ada standar auditing yang didesain untuk mengaudit laporan keuangan yang berbasis IFRS. Dan ISA adalah jawaban dari persoalan ini. ISA yang juga berasal dari Eropa ini tentunya sudah dirancang untuk mengaudit laporan keuangan yang berbasis IFRS.
Maka dari itu, Indonesia sebagai negara yang juga telah mengadopsi IFRS tentunya juga harus mengadopsi ISA. Dengan demikian barulah fasilitas berupa standar yang dibutuhkan untuk mendukung rencana menggaet investor ini lengkap. Karena pada dasarnya ISA dan IFRS adalah satu kesatuan yang dapat melengkapi. Adanya ISA diharapkan kepercayaan pengguna informasi laporan keuangan semakin percaya bahwa informasi laporan keuangan adalah informasi yang berkualitas dan bebas dari tindakan manajemen laba yang dapat merugikan investor.
Kenyataannya, bahkan sebelum ISA resmi diimplementasikan di negara Indonesia, penggunaan ISA ternyata sudah dilakukan di beberapa KAP di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa hal ini wajar, karena mengingat KAP di Indonesia juga biasanya berpartner dengan KAP negara luar yang mungkin telah mengadopsi ISA ataupun perusahaan di Indonesia yang punya parent company dari negara luar yang telah mengadopsi ISA.
Dalam survei kecil yang dilakukan oleh Tuanakotta (2013) terkait dengan pelaksanaan ISA oleh praktisi yang berpraktik di KAP yang mempunyai jaringan praktik akuntansi global menyatakan bahwa waktu pengimplementasian ISA di KAP ternyata bervariasi, mulai dari melatih praktisi terkait dengan ISA, ada pula yang mengimplementasikan ISA pada anak-anak perusahaan yang parent company auditor-nya sudah menggunakan ISA. Ada pula responden yang menyatakan bahwa keputusan mengimplementasi ISA adalah keputusan jaringan (global atau internasional), bukan keputusan KAP Indonesia. Jika semata-mata hanya keputusan KAP Indonesia tentu IAPI dan pronouncements  yang diterbitkan DSP menjadi acuannya.
Dari survei terlihat bahwa ternyata arus globalisasi telah menyebabkan KAP yang ada telah mengimplementasikan jauh lebih cepat dibandingkan dengan pengumuman penggunaan ISA pada audit laporan keuangan periode yang dimulai 1 Januari 2013. ISA pada kenyataannya harus secepatnya diimplementasikan mengingat kebutuhan dari perusahaan yang ada. Karena saat ini, KAP yang ada tidak hanya berasal dari Indonesia, tentunya KAP ini tetap harus beradaptasi dan mampu melayani kebutuhan setiap kliennya.
Oleh karenanya IAPI dan DSP disini berperan penting untuk mensosialisasikan ISA.  Saat ini, ISA adalah fasilitas peraturan yang penting untuk dimiliki oleh Indonesia untuk menghadapi tantangan ke depannya. Apalagi pada tahun 2015 ini Indonesia sudah memasuki era investasi, sudah tentu Indonesia harus siap bersaing dengan negara lain. Dan ditambah dengan munculnya AEC, Indonesia haruslah secepatnya untuk menyempurnakan implementasi ISA. Jangan sampai nantinya Indonesia ketinggalan dengan negara ASEAN lainnya.
Pada akhirnya, pengimplementasian ISA memang merupakan salah satu hal yang penting untuk dilaksanakan. ISA bisa dibilang merupakan ukuran kesiapan Indonesia untuk mempersiapkan dirinya dalam menghadapi peluang dan tantangan yang ada dalam melaksanakan fase kedua dari MP3EI di tengah isu AEC yang kelak akan terjadi bersamaan dengan pelaksanaan fase kedua. Dan sebagai jawaban atas kesiapan atas AEC ini, Indonesia telah membuktikan keseriusannya dengan meresmikan ISA sebagai pedoman atas audit laporan keuangan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2013. Sudah satu tahun lebih sejak pelaksanaan peraturan ini. Walau secara resmi ISA masih muda, kenyataannya upaya pengimplementasian ini sudah ada jauh sebelum ini sebagai akibat dari globalisasi. Maka itu, terkait implementasi ISA, tentunya setiap orang harus terus belajar karena ISA sendiri berkembang dan mengikuti perkembangan kebutuhan penggunaanya.

4.1.5  Penerapan International Standards on Auditing (ISA); Solusi untuk Penerapan Standarisasi Biaya Audit
ISA adalah standar auditing yang menekankan pentingnya akan professional judgement. Hal ini karena ISA adalah standar audit yang berbasis prinsip. Maka itu kearifan profesioanal atau professional judgement ini diwujudkan dalam bentuk yang lebih konkret, yaitu dengan keikutsertaan auditor yang punya pengalaman yang banyak. Keputusan yang dibuat oleh asisten dianggap kurang layak karena pengalaman yang minim.
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa dalam menentukan biaya audit ada beragam aspek yang harus dipertimbangkan oleh KAP. Tentunya penilaian ini dilakukan oleh pihak internal dari KAP. Pertimbangan atas biaya audit ini tentunya dilakukan berdasarkan atas pengalaman dari praktisi dari KAP. Tentunya biaya itu tidak sembarangan saja ditentukan oleh KAP. Dapat dikatakan bahwa dalam pengimplementasian ISA, tentunya KAP sangat mengandalkan professional judgementnya dalam setiap keputusan, termasuk pertimbangan akan biaya atas jasa audit.
Logikanya adalah semakin banyak pengalaman dari praktisi, tentunya akan semakin baik pula keputusan yang diambil. Dapat pula diasumsikan bahwa  dengan pengalaman yang hampir sama, tentunya solusi yang diambil antara KAP yang berbeda kemungkinan besar adalah sama. Dengan demikian professional judgement adalah standar atas segala keputusan, termasuk biaya audit.
Hal ini berarti, pada KAP yang berada pada level yang sama kemungkinan akan menetapkan biaya audit yang tidaklah jauh berbeda kepada perusahaan yang berada di level yang sama. Dapat dikatakan bahwa nyatanya ISA tidaklah menetapkan standarisasi biaya audit. Namun demikian, ISA menekankan pada professional judgement, dan melalui professional judgement inilah secara tidak langsung biaya audit akan memiliki standar tersendiri. Hal ini tidak hanya terjadi pada biaya audit saja, namun juga pada aspek lainnya. Professional judgement menyebabkan auditor tidak terpaku pada model matematis dan aturan, yang pada dasarnya kaku dan mengikat. ISA membuat dasar yang kuat dan pengembangannya adalah professional judgement.
Berbeda dengan pajak yang memiliki tarif yang tidak berubah, pengauditan atas laporan keuangan tidaklah memiliki tarif yang pasti. Adanya penekanan professional judgement ini yang dapat membawa standarisasi biaya audit atas suatu perusahaan. Pada dasarnya professional judgement ini bersifat fleksibel, namun dapat mengikat cukup kuat. Dan pada akhirnya standarisasi biaya audit ini tergantung pada level dari professional judgement yang dimiliki oleh KAP itu.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ISA memberikan solusi atas standarisasi biaya audit yaitu dengan mendayagunakan professional judgement dari KAP. Dengan demikian, biaya audit pada akhirnya akan punya standarisasi yang sesuai dengan apa yang dinilai oleh auditor.Dan standar biaya audit yang diterapkan antar KAP adalah berbeda, tergantung atas professional judgement yang dimiliki.
4.2. Simpulan
1.      Penerapan ISA di Indonesia masih jauh dari kata sempurna, pada dasarnya Indonesia sendiri masih mempertimbangkan akan menerapkan ISA secara mutlak atau hanya melakukan adopsi untuk bagian tertentu.
2.      ISA pada dasarnya sebuah standar untuk kegiatan pengauditan yang sudah bertaraf internasional, baik dan bahkan memberikan standarisasi yang tinggi untuk setiap negara yang mampu menerapkannya.
3.      Dengan adanya ISA, para auditor harus mampu bersaing secara kompetitif di taraf internasional, adanya suatu ajang internasional dimana akan diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN, membuat Indonesia mau tidak mau ataupun suka tidak suka harus mampu menerapkan ISA dengan baik.
4.      Jika Indonesia mampu menerapkan ISA dengan baik, maka setiap auditor di Indonesia akan mampu berkompetisi dengan auditor lainnya dengan kualitas yang lebih baik.
5.      Penerapan ISA tidak sebatas meningkatkan standarisasi audit, tetapi juga akan meningkatkan cost dan benefit dari suatu kegiatan pengauditan di Indonesia.
6.      Penerapan ISA akan memberikan pemahaman bahwa seorang auditor yang mampu menerapkan standarisasi ISA dengan baik, akan mampu meningkatkan kualitas dirinya sebagai seorang auditor yang baik.
7.      ISA menerapkan suatu analisis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar audit yang diterapkan di indinesia sebelumnya, maka dari itu hasil dari laporan keuangan tersebut akan memberikan kepercayaan yang lebih baik terhadap pihak yang memiliki kepentingan.
4.3. Rekomendasi
1.      Seharusnya penerapan ISA di Indonesia akan lebih baik lagi, dalam keadaan apapun Indonesia tetap harus mampu menerapkannya dengan baik.
2.      Pengadopsian ISA perlu, namun standarisasi yang terdahulu tetap dapat dijadikan sebagai suatu bahan pertimbangan dan perbandingan dengan standarisasi ISA yang baru.
3.      Jika Indonesia mampu menerapkan ISA dengan baik, maka para auditor akan mampu bersaing di kancah internasional.
4.      Auditor di Indonesia harus mampu menghadapi persaingan yang nantinya akan membantu Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang di pandang baik oleh negara lain.
5.      Penerapan ISA harus mampu menjadi sebuah ukuran untuk menentukan biaya audit yang selama ini tidak memiliki kejelasan yang mutlak di Indonesia.
6.      Penerapan ISA harus mampu meningkatkan kualitas para auditor di Indonesia agar menjadikan mereka memiliki kemampuan untuk melakukan pengauditan dengan lebih baik.
7.      ISA harus memberikan kualitas yang lebih baik untuk setiap auditor dalam melakukan suatu kegiatan analisis yang tinggi terhadap berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam suatu kegiatan pengauditan.












1 komentar:

  1. assalamualaikum ka, saya destia, mau nanya ini tulisannya bagus sekali. saya butuh ini sebagai referensi skripsi saya. kalo boleh tau ini siapa yang buat ya ka? saya mau hubingi personal kemana ya? terima kasih.

    BalasHapus