BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Indonesia mempunyai
rencana berjangka waktu panjang untuk pembangunan negaranya yang disebut Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Rencana jangka
panjang itu dilaksanakan dalam tiga fase yang dimulai pada tahun 2011 hingga
tahun 2025. Jika sesuai dengan rencana awal, tidak lama lagi fase pertama dari
MP3EI yaitu implementasi quick wins
ini akan memasuki tahap akhir, yang berarti fase kedua dari MP3EI akan segera
dimulai. Keberhasilan yang merupakan bentuk realisasi dari MP3EI pada fase yang
pertama, menjadi acuan mutlak untuk menerapkan fase yang kedua ini.
Adapun fase kedua dari
rencana jangka panjang ini yaitu memperkuat basis ekonomi dan investasi. Ekonomi
dan investasi merupakan dua hal yang sangat riskan dan bahkan menjadi masalah
yang cukup krusial di antara negara-negara yang sedang berkembang, tidak
terkecuali negara Indonesia. Tentunya fokus dari rencana ini sudah berbeda
dengan fase pertama. Fase kedua ini akan berfokus pada pembangunan proyek
infrastruktur jangka panjang, meningkatkan daya saing kegiatan ekonomi utama
MP3EI, peningkatan tata kelola ekonomi di berbagai bidang, dan memperluas
pengembangan industri yang menciptakan nilai tambah. Pada fase kedua ini ibarat
mengelola bulir padi yang baru saja dipanen pada fase pertama. Masih ada
tahapan-tahapan yang harus ditempuh agar ‘bulir padi’ ini dapat dinikmati.
Keberhasilan
pelaksanaan implementasi quick wins
merupakan fondasi dasar dari fase kedua. Memperkuat basis ekonomi dan investasi
tidak hanya butuh sarana dan prasarana yang memadai, namun juga diperlukan
sumber daya manusia yang memadai pula. Tanpa adanya fondasi dasar yang kuat
tentunya sulit untuk membangun basis ekonomi dan investasi yang kuat dan tidak
mudah runtuh walau dihadang badai besar sekalipun. Hal yang paling diharapkan
adalah adanya kelengkapan berbagai infrastruktur, suprastruktur dan
kesempurnaan sumber daya manusia yang maksimal.
Apalagi saat ini dunia
sudah memasuki zaman globalisasi yang menjadikan dunia tanpa batas. Dunia ini
dapat dianalogikan sebagai sebuah cermin yang dapat dilihat tembus pandang
karena mudahnya akses untuk mencapai berbagai informasi yang mendunia. Hal ini
mempengaruhi segala aspek, termasuk juga aspek ekonomi. Mudahnya akses
informasi antar negara semakin memudahkan aktivitas ekonomi. Banyak
negara-negara yang melakukan kesepakatan-kesepakatan terkait ekonomi, ataupun
membentuk organisasi regional untuk mempermudah akses antar negara. Adapun
organisasi ekonomi regional itu diantaranya AEC, AFTA, NAFTA, Uni Eropa. Ini
membuktikan bahwa investasi-investasi yang dilakukan para investor juga menjadi
tidak terbatas pada hanya satu negara saja karena siapapun dapat berinvestasi
secara luas dalam ruang lingkup antar negara. Hal ini menjadi suatu tantangan
bagi setiap negara untuk mampu menarik minat investor. Ini juga menjadi suatu
tantangan sendiri bagi negara Indonesia yang akan segera melaksanakan fase
kedua dari MP3EI.
Salah satu dari
tantangan ini yaitu bagaimana menarik minat investor untuk berinvestasi di
Indonesia. Ketika investor berinvestasi, tentunya akan mencari
informasi-informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan berinvestasi. Laporan
keuangan merupakan salah satu media informasi bagi para investor. Laporan keuangan
disusun berdasarkan atas standar yang berlaku di masing-masing negara. Dengan
adanya laporan keuangan tersebut maka para investor akan mampu menentukan
wadahnya yang paling tepat untuk melakukan suatu kegiatan investasi tersebut.
Laporan keuangan yang wajar merupakan sebuah laporan yang sangat diharapkan
baik bagi para investor, kreditor, dan bahkan pemelik perusahaan. Dengan
demikian, laporan keuangan merupakan pertimbangan yang mutlak untuk mengubah
paradigma yang dimiliki oleh para investor untuk menentukan wadah mereka dalam
berinvestasi, dan standar untuk pembuatan laporan keuangan yang diterapkan oleh
setiap perusahaan belum tentu sama dari berbagai negara.
Standar akuntansi di setiap negara tidaklah
sama. Hal ini kemudian menjadi masalah karena laporan keuangan setiap negara
itu menjadi tidak dapat dibandingkan. Oleh karena itu harus ada standar
akuntansi internasional yang bisa dipakai secara global. IFRS merupakan jawaban
dari persoalan ini. IFRS (International
Financial Reporting Standard) merupakan standar akuntansi internasional
yang saat ini sudah diadopsi setidaknya oleh 130 negara di dunia. Dan negara
pengguna IFRS akan terus bertambah seiring berjalan waktu, mengingat bahwa
globalisasi bukanlah sesuatu yang dapat ditawar-tawar lagi. Suka tidak suka,
mau tidak mau setiap negara haruslah menerima fakta bahwa pada masa yang akan
datang, standar akuntansi yang dipakai seluruh dunia akan sama. Itu artinya
informasi yang terkandung dalam laporan keuangan menjadi semakin berguna dan
setiap negara harus mampu mempersiapkan diri untuk berkompetisi secara
kompetitif.
Adanya IFRS sebagai
standar akuntansi internasional bukan berarti masalah selesai sampai disitu
saja. Pada dasarnya, laporan keuangan dibuat oleh pihak manajemen. Adapun
pengguna laporan keuangan tidak hanya berasal dari manajemen yang merupakan
pihak internal, tetapi juga pihak eksternal. Dan tentu saja, investor merupakan
salah satu dari pihak eksternal itu. Kendati laporan keuangan sudah dibuat
sesuai dengan standar akuntansi internasional yang berlaku, IFRS, tidak ada
jaminan bahwa seluruh informasi yang terkandung dalam laporan keuangan sudah
mencerminkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Hal ini menjadi problematika
jika para investor yang akan melakukan investasi tersebut bukan berasal dari
akademisi maupun praktisi di bidang akuntansi. Dengan demikian, yang menjadi
masalah adalah sejauh mana mereka mampu memahami informasi yang terdapat di
laporan keuangan tersebut.
Berdasarkan teori
agensi (agency theory), teori yang
menjelaskan ada perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemilik. Jensen dan
Meckling (1976) mendefinisikan hubungan agensi (agency relationship) sebagai sebuah persetujuan antara satu orang
atau lebih principal yang melibatkan
orang lain sebagai agen untuk melaksanakan beberapa layanan yang melibatkan
pendelegasian pembuatan keputusan kepada agen. Agensi sebagai pihak yang
memegang kuasa untuk menggunakan sumber daya milik principal untuk memperoleh
keuntungan yang maksimum dengan imbalan berupa gaji dan pembagian keuntungan
sesuai yang disepakati sebelumnya. Adapun principal
yang menginginkan keuntungan maksimum dengan memberikan kepercayaan kepada
agensi untuk mengelola sumber daya sebaik mungkin. Kedua pihak ini jelas
memiliki tujuan yang berbeda, dan dapat timbul konflik. Oleh karenanya
dibutuhkan pengawasan yang dilakukan oleh pihak principal
Adapun bentuk
pengawasan ini dilakukan dengan cara pihak agen, manajemen, harus melaporkan
pelasanaan kegiatan yang telah dilakukan dalam upaya untuk mencapai tujuan dari
principal. Salah satunya yaitu dengan
mengeluarkan laporan keuangan. Namun ada kesenjangan informasi yang dimiliki
oleh kedua pihak. Manajemen yang berkuasa atas sumber daya principal tentunya mempunyai akses informasi penuh atas kejadian
yang terjadi dalam perusahaan. Laporan keuangan yang menjadi bentuk
pertanggungjawaban dari manajemen kepada principal
dibuat oleh manajemen. Walaupun laporan keuangan telah dibuat sesuai dengan
standar-standar akuntansi yang berlaku. Tidak ada jaminan bahwa
pertanggungjawaban manajemen itu telah dibuat sesuai dengan asas-asas laporan
keuangan.
Ketimpangan informasi
antara principal dan agen inilah yang
memunculkan kebutuhan adanya pengawasan dari pihak eksternal. Adapun pengawasan
ini yaitu dilakukan oleh auditor eksternal. Auditor eksternal disini berfungsi
memberi jasa assurance kepada pihak principal. Messier et all. (2006) menyatakan hubungan
dasar antara pemilik dan manajer inilah yang melatarbelakangi perkembangan awal
dari audit sehingga ada jasa audit di pasar bebas. Jasa audit di pasar bebas
merupakan suatu pembuktian bahwa sebuah perusahaan tersebut mampu survive
danbahkan berkembang dengan baik karena telah mampu memperoleh suatu pendapat
yang wajar tanpa pengecualian. Dan pihak auditor eksternal yang melakukan audit
tersebut, notabene memiliki kualitas internasional, contohnya saja the big four
maka kualitas perusahaan tersebut juga akan dapat di pertanggungjawabkan di
kancah internasional.
Karena itulah pada
perkembangan berikutnya audit menjadi semakin dibutuhkan. Salah satu diantara
jenis audit adalah audit eksternal. Audit eksternal dimaksudkan untuk mengaudit
laporan keuangan. Saat ini, audit eksternal ini dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik
(KAP). Audit ekternal adalah salah satu jasa yang disediakan oleh KAP. Atas
jasa yang diberikan oleh KAP ini, tentu akan dikenakan biaya. Biaya atas jasa
ini disebut juga audit fee. Audit fee dipengaruhi
oleh banyak faktor. Diantaranya adalah sejauh mana perusahaan tersebut di
lakukan suatu pengauditan terhadapnya, pemaparan bukti, penerapan waktu untuk
pelaksanaan audit, sejauh mana perusahaan tersebut memang layak untuk di audit,
dan bahkan masih banyak faktor untuk menentukan audit fee tersebut. Namun demikian, hingga saat ini standarisasi
mengenai Audit Fee tersebut belum ada
suatu kesepakatan yang mutlak di antara para auditor.
Di negara Indonesia sendiri belum ada
peraturan yang menetapkan besaran yang pasti dari audit fee. Oleh karenanya, nilai audit fee ini ditentukan dengan kebijakan masing-masing KAP. Audit
fee harus dinilai berdasarkan atas pertimbangan dari faktor yang ada dan juga
telah ditetapkan oleh IAI. Dengan demikian, seharusnya pihak yang mewadahi para
auditor eksternal ini mampu menerapkan standarisasi mengenai audit fee, dengan tujuan tidak ada
ketimpangan di antara berbagai KAP tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang
sangat penting untuk dilakukan suatu analisis terhadapnya. Dan kesetaraan audit fee tersebut adalah sangat penting
dengan asumsi fee akan menentukan kualitas dan kuantitas dari suatu pekerjaan
yang dilaksanakan oleh seorang auditor eksternal.
Salah satu faktor yang
mempengaruhi audit fee tentunya adalah penggunaan standar pengauditan. Adanya
perbedaan antara standar tentu akan berdampak pada perencanaan dan kegiatan
audit. Dan saat ini ada perubahan dalam standar pengauditan di Indonesia.
Selayaknya pelaporan keuangan yang saat ini berkiblat ke IFRS, maka sejak 1
Januari 2013, pengauditan mulai berkiblat pada International Standards on Auditing (ISA). Baik ISA maupun IFRS
berkiblat pada standar yang diciptakan oleh Masyarakat Uni Eropa. Sebelumnya,
baik standar pelaporan maupun standar pengauditan yang dianut di Indonesia
berasal dari Amerika Serikat. Tentunya ada perbedaan mendasar antara ISA dengan
standar sebelumnya.
Tuanakotta (2013)
menyebutkan ada perbedaan antara ISA dengan standar sebelumnya yang bersifat
substantif dan mendasar, yaitu pada ISA
audit dilakukan (i) Berbasis risiko, (ii) Principle-based standards, (iii)
Penggunaan professional judgement, (iv) Kearifan professional dan
konsekuensinya, (v) pengendalian internal, (vi) those charged with governance. Perbedaan mendasar ini tentu akan
membawa perbedaan desain dalam pengauditan yang selama ini dilakukan. Tentunya
akan berpengaruh pada biaya yang kemungkinan meningkat. Dengan demikian,
peningkatan sebuah standar pengauditan yang telah diterapkan mulai tahun 2013
di Indonesia, sampai saat ini belum dapat diimplementasikan secara sempurna.
Analoginya, sebuah peningkatan terhadap standar pengauditan akan mampu
memberikan peningkatan yang setara pula terhadap biaya yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan ketika dilakukan audit
terhadap perusahaan tersebut.
Peningkatan biaya
harusnya juga meningkatkan manfaat yang timbul atas pengauditan dengan
mengimplementasikan ISA. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah biaya
implementasi ISA ini sebanding dengan manfaat yang dirasakan. Apalagi tuntutan
untuk menyajikan informasi keuangan yang berkualitas semakin meningkat.
Tentunya diharapkan implementasi ISA dapat meningkatkan kualitas audit sehingga
informasi atas laporan keuangan semakin dapat terpercaya. Dan adanya informasi
terpercaya akan membawa investor untuk masuk ke Indonesia sehingga mendukung
keberhasilan program MP3EI.
Berdasarkan latar
belakang diatas maka penulis memberi judul “ANALISIS
BIAYA DAN MANFAAT TERHADAP IMPLEMENTASI INTERNATIONAL STANDARDS ON AUDITING
(ISA) DALAM KEGIATAN PENGAUDITAN: PELUANG DAN TANTANGAN DI ERA MENUJU
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ” pada karya tulis ini.
1.2.Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas pada bab
selanjutnya. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah perkembangan implementasi International Standards on Auditing (ISA)
dalam kegiatan pengauditan di Indonesia saat ini?
2.
Apakah pengimplementasian International Standards on Auditing (ISA)
dalam suatu kegiatan pengauditan mempengaruhi peningkatan biaya audit?
3.
Apakah manfaat implementasi International Standards on Auditing (ISA)
dalam suatu kegiatan pengauditan di Indonesia sebanding dengan peningkatan
terhadap standarisasi biaya audit?
4.
Apakah implementasi International Standards on Auditing (ISA) dapat dijadikan sebagai
salah satu ukuran untuk menilai kesiapan rakyat Indonesia menuju Masyarakat
Ekonomi ASEAN ?
5.
Apakah penerapan International Standards on Auditing (ISA) dalam kegiatan pengauditan
dapat diasumsikan sebagai suatu solusi untuk penetapan standarisasi biaya audit
yang tepat yang sampai saat ini belum memiliki standar biaya yang jelas ?
1.3.Tujuan
dan Manfaat Penulisan
1.3.1. Tujuan
Penulisan
Tujuan dari
penulisan karya tulis ini adalah:
1.
Untuk mengetahui perkembangan
implementasi International Standards on
Auditing (ISA) dalam kegiatan pengauditan di Indonesia saat ini.
2.
Untuk mengetahui seberapa jauh
pengimplementasian International
Standards on Auditing (ISA) dalam suatu kegiatan pengauditan dapat
mempengaruhi peningkatan biaya audit.
3.
Untuk mengetahui apakah manfaat pengimplementasian
International Standards on Auditing (ISA)
dalam suatu kegiatan pengauditan di Indonesia sebanding dengan peningkatan
terhadap standarisasi biaya audit.
4.
Untuk mengetahui sejauh mana pengimplementasian
International Standards on Auditing (ISA)
dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk menilai kesiapan rakyat
Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.
5.
Untuk mengetahui sejauh mana penerapan International Standards on Auditing (ISA)
dalam kegiatan pengauditan dapat diasumsikan sebagai suatu solusi untuk
penetapan standarisasi biaya audit yang tepat yang sampai saat ini belum
memiliki standar biaya yang jelas.
1.3.2. Manfaat
Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Bagi
akademisi
Sebagai
bahan kajian dan pengujian terhadap konsep pengimplementasian ISA dalam suatu laporan keuangan serta
pengaruhnya terhadap kualitas informasi akuntansi perusahaan, dan diharapkan
menjadi suatu tolok ukur untuk menciptakan suatu keseragaman terhadap standar
pengauditan yang tepat untuk menentukan biaya audit yang tepat pula.
2. Bagi
praktisi
Sebagai
bahan masukan dan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan dan keputusan terkait pengimplementasian ISA, dengan
demikian para praktisi diharapkan mampu mengambil suatu kebijakan yang lebih
baik untuk menentukan suatu perusahaan yang memang benar-benar memiliki
kualitas yang tinggi.
3.
Bagi Investor
Investor
akan dapat menggunakan laporan keuangan yang sudah mengimplementasikan ISA,
maka dari itu standar internasional ini diharapkan mampu memberikan penjelasan
yang lebih baik untuk membantu para investor menetapkan investasi yang akan
mereka lakukan.
4.
Bagi pemerintah
Sebagai bahan
acuan dan pertimbangan bagi pemerintah atau badan yang berwenang membuat
peraturan terkait dengan pengungkapan wajib audit
fee, dengan demikian pemerintah diharapkan dapt menjadi wadah yang tepat
untuk menentukan standar pengauditan yang akan digunakan untuk kepentingan
menuju masyarakat ekonomi ASEAN.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.Teori
Agensi (Agency Theory)
Teori ini
menjelaskan hubungan antara pemilik usaha (principal) dan manajemen (agen).
Teori ini dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori Keagenan (Agency Theory) menjelaskan adanya
konflik antara manajemen (agen) dengan pemilik (principal) yang berpotensi untuk merugikan kedua belah pihak.
Manajemen cenderung untuk melakukan perilaku menyimpang untuk mencapai
kepentingannya dan melupakan kepentingan dari principal.
Asumsi utama
dari teori agensi adalah semua individu bertindak atas kepentingan mereka
sendiri. Manajemen menginginkan kompensasi yang tinggi atas hasil pekerjaan
yang dilakukan oleh mereka. Kompensasi ini berupa gaji, tunjangan, bonus, dan
berbagai bentuk insentif lainnya yang diberikan oleh principal sehingga mendorong
agen untuk terus mempertahankan dan meningkatkan kinerjanya sehingga
pengembalian untuk principal mencapai
angka yang maksimum. Sementara principal menginginkan
pengembalian yang maksimum atas semua modal yang telah diberikan kepada
perusahaan. Realisasi atas pengembalian dari modal ini dapat terlihat dari
deviden yang dibagikan yang seharusnya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Dengan deviden yang terus meningkat biasanya akan mempengaruhi harga saham yang
biasanya juga meningkat.
Namun,
dikarenakan masing-masing pihak, baik agen maupun principal bertindak demi kepentingan diri mereka sendiri, hal ini
mungkin akan menyebabkan adanya perbenturan antar kepentingan yang bisa
merugikan salah satu maupun kedua belah pihak. Principal yang ingin
memperoleh pengembalian yang maksimum tidak serta merta mengabaikan
kesejahteraan agen yang mereka pekerjakan. Principal
haruslah memberikan reward berupa insentif dalam berbagai
bentuk yang tentunya sesuai dengan apa yang dihasilkan oleh agen. Masalahnya
adalah reward yang diberikan ini
tentunya tidak secara asal-asalan diberikan kepada agen. Haruslah ada
pertimbangan-pertimbangan yang menyebabkan principal
memberikan reward yang setimpal dengan pengembalian yang akan diterima oleh principal. Penilaian untuk menentukan reward untuk agen ini berdasarkan
kemampuan agen untuk memperbesar laba untuk dialokasikan pada pembagian
deviden. Secara umum, laba yang tinggi, deviden yang tinggi, biasanya juga akan
berdampak ke harga saham yang meningkat pula. Bila kondisi ini tercapai,
tentunya agen akan dinilai layak menerima insentif yang tinggi.
Sementara
manajemen selaku agen sebelum diganjar imbalan yang tinggi oleh principal terebh dahulu haruslah
berhasil memenuhi tuntutan dari pihak principal.
Dalam hal ini, manajemen mempunyai keuntungan yang lebih dalam mengakses
informasi yang ada dalam perusahaan.
Kelompok agen dan principal
tidaklah memiliki jumlah informasi yang sama. Apalagi, sumber informasi utama
yang dimiliki oleh principal adalah
laporan keuangan perusahaan yang dibuat oleh manajemen selaku agen. Sudah pasti
manajemen memiliki informasi menyangkut perusahaan lebih banyak dan mendalam
dibandingkan dengan apa yang diterima oleh principal.
Jika asumsinya semua individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan
masing-masing, celah ini pasti akan dimanfaatkan oleh manajemen dengan cara
memberikan informasi yang menunjukkan superioritas dari agen sehingga principal memberi insentif yang tinggi.
Namun, hal ini tentu merugikan bagi pihak principal.
Oleh karena itu,
perlu diadakan pengawasan atas kinerja dari agen, sehingga risiko yang akan
diterima oleh principal atas segala
modal yang ditanamkan menjadi minimal. Agen secara alamiah akan berusaha untuk
terlihat sempurna di mata principal
karena adanya celah berupa asimetri informasi antara dua kelompok. Pada celah
ini, bisa saja agen melakukan Creative
Accounting yang menyimpang, yaitu dengan melakukan manajemen laba (Earnings Management).
2.2.Asimetri
Informasi
Asimetri
Informasi adalah keadaan dimana manajer memiliki informasi atas prospek ke
depan suatu perusahaan dimana informasi ini tidak dimiliki oleh pihak luar
selain perusahaan. Hal inilah yang merupakan perbedaan mendasar antara kelompok agen dan principal.
Pada prinsipnya baik kelompok agen maupun kelompok principal sama-sama ingin
memperoleh keuntungan maksimum bagi mereka sendiri.
Hal ini selaras
dengan Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan jika kedua kelompok (agen dan
prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya,
maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu
bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat
membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan
monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.
Laporan keuangan
merupakan alat komunikasi keuangan perusahaan yang dibuat oleh manajemen untuk
kepentingan tidak hanya pihak internal perusahaan juga pihak eksternal
perusahaan. Laporan keuangan adalah informasi yang diberi pihak manajemen
kepada pihak principal seperti investor sehingga dengan adanya informasi ini
maka principal juga dapat membuat keputusan yang tepat guna memaksimumkan
keuntungannya.
Namun demikian,
laporan keuangan ini dibuat oleh manajemen dengan standar-standar kebijakan
akuntansi yang ditentukan terlebih dahulu oleh manajemen (agen). Manajemen
memiliki keleluasaan untuk memanipulasi laporan keuangan yang nantinya akan
digunakan investor untuk membuat keputusan. Hal inilah yang merupakan bentuk
ketimpangan atas informasi yang dimiliki manajemen dan investor yang merugikan.
Maka dari itu harus dilakukan tindakan antisipasi agar ketimpangan ini dapat
diminimumkan.
Pada dasarnya, Ada
dua tipe asimetri informasi, yaitu :
1.
Adverse
Selection
Adverse
selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu
pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi
usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak
lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer
perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi
kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para investor luar.
2.
Moral Hazard
Moral
hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu
pihak yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau
transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam
penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak.
Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan
pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.
2.3.Manajemen
Laba (Earnings Management)
Manajemen laba (Earnings Management) adalah proses
dimana manajer memiliki kemampuan untuk menggunakan deskresi yang mereka miliki
untuk menyesatkan stakeholders atau
mempengaruhi hasil kontraktual mereka dengan owner (Healy dan Wahlen, 1998).
Subramanyam dan Wild (2008) menyatakan manajemen laba dapat berupa kosmetik,
jika manajer memanipulasi akrual laba yang tidak memiliki konsekuensi arus kas.
Rusli (2009) menyatakan manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk
meningkatkan (menurunkan) laba yang dilaporkan saat kini dari suatu unit yang
menjadi tanggung jawab manajer tanpa mengaitkan dengan peningkatan (penurunan)
profitabilitas ekonomi jangka panjang.
Dari berbagai
definisi yang ada, terdapat suatu kesamaan pada setiap definisi yang
dikemukakan, yaitu laba yang seolah-olah meningkat, namun tidak ada manfaat
ekonomi yang dirasakan oleh pemilik. Manajemen laba ini adalah bentuk tindakan
yang ditempuh oleh manajer terkait dengan agency
theory. Menurut Scott (2003) terdapat dua cara untuk memahami manajemen
laba. Pertama, sebagai perilaku oportunistik manajemen untuk memaksimumkan
utilitasnya dalam menghadapi kompensasi, kontrak utang dan biaya politik.
Kedua, memandang manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk
melindungi diri mereka sendiri dan perusahaan dalam mengantisipasi
kejadian-kejadian yang tidak terduga untuk keuntungan semua pihak yang terlibat
dalam kontrak.
Adapun pola-pola
manajemen laba pada prakteknya menurut Scott (2005) dalam Atiqah (2012) yaitu:
1. Taking a bath
Pola manajemen laba yang melaporkan
laba pada periode berjalan dengan nilai yang sangat rendah atau sangat tinggi.
2. Income minimization
Pola manajemen ini seperti taking a bath tapi tidak se-ekstrim pola
taking a bath. Menjadikan laba di
periode berjalan lebih rendah dari pada laba sesungguhnya.
3. Income maximization
Pola manajemen laba ini
berkebalikan dengan income minimization.
Melaporkan laba lebih tinggi dari pada laba sesungguhnya.
4. Income smoothing
Pola manajemen laba yang paling
menarik yaitu dengan cara melaporkan tingkatan laba yang cenderung
berfluktualisasi yang normal pada periode-periode tertentu.
Adapun motivasi terjadinya manajemen laba menurut
Scott (2003) dalam Atiqah (2012):
1. Bonus purposes
Manajer akan melakukan tindakan
oportunistik dengan memaksimalkan laba saat ini untuk mendapatkan
keuntungan-keuntungan pribadi.
2. Political motivation
Banyak perusahaan memiliki politik
yang terlihat. Terutama untuk perusahaan yang menaungi hajat hidup banyak orang
seperti perusahaan minyak, gas, dll. Beberapa perusahaan melakukan earnings
management untuk mengurangi visibilitasnya.
3. Taxation motivation
Pajak pendapatan mungkin motivasi
yang paling nyata dari manajemen laba. Otoritas perpajakan cenderung memaksakan
peraturan akuntansi mereka dalam menghitung pajak pendapatan, mengurangi ruang
lingkup perusahaan untuk melakukan manuver.
4. Perubahan
CEO
Beberapa dari motivasi manajemen
laba ada pada saat adanya perubahan CEO. Hipotesis perencanaan bonus
memprediksikan bahwa pengunduran diri CEO akan beberapa terlibat dalam strategi
maksimalisasi laba untuk meningkatkan bonus mereka.
5. IPO
Perusahaan yang akan melakukan IPO
belum memiliki nilai pasar yang telah terbangun. Dan memungkinkan manajer dari
perusahaan going public akan melakukan
manajemen laba untuk menaikkan harga saham mereka.
6. Informasi
kepada investor
Manajemen tipikalnya akan memberikan informasi yang
terbaik tentang prospek laba masa depan kepada investor. Dengan memberikan
memberikan estimasi yang baik pada kekuatan laba maka dapat meningkatkan nilai
pasar saham.
Pada akhirnya tindakan manajemen laba ini tentunya
merugikan pihak owner, investor, dan calon investor. Hal ini karena owner,
investor, dan calon investor sangat dirugikan karena laporan keuangan sebagai
informasi yang digunakan oleh mereka untuk mengambil keputusan investasi salah.
Oleh karenanya sebisa mungkin, laporan keuangan seharusnya menunjukkan
informasi yang paling mendekati kondisi perusahaan yang sebenarnya, bukan
manajemen laba.
Dapat dikatakan bahwa semakin baik kualitas laporan
keuangan maka informasi yang terkandung di dalamnya bebas akan manajemen laba.
Maka, pengauditan laporan keuangan yang baik adalah yang dapat mendeteksi
manajemen laba yang dilakukan. Tentunya biaya audit akan meningkat sesuai
dengan tingkat kesulitan dari perusahaan yang ada.
2.4.Teori
Deep Pocket (Deep Pocket Theory)
Teori ini
menjelaskan hubungan cateris paribus antara insentif yang
diterima auditor dengan opini yang diberikan. Teori ini dikembangkan oleh
Simunic (1996). Dalam teori ini, risiko litigasi lebih besar terjadi pada
auditor Big Four daripada Non Big Four apabila auditor memiliki
kesalahan dalam memberikan opini “ Wajar Tanpa Pengecualian”. Risiko Litigasi
didefinisikan sebagai risiko yang melekat pada pada perusahaan yang
memungkinkan terjadinya ancaman litigasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan
dengan perusahaan yang merasa dirugikan. Pihak-pihak yang berpentingan tersebut
meliputi kreditor, investor, dan regulator. (Juanda, 2005).
Chrisnoventie
dan Raharja (2012) menyebutkan auditor yang memiliki tingkat risiko yang lebih
tinggi memiliki insentif yang lebih besar khususnya saat klien memiliki tingkat
risiko litigasi yang lebih tinggi, secara efektif memonitor sistem pelaporan
keuangan untuk menghindari atau mengurangi kerugian moneter. Hal ini terkait
pada biaya audit yang akan dikeluarkan oleh perusahaan. Tentunya perusahaan
yang besar memiliki risiko litigasi yang besar sehingga untuk mengauditnya KAP
butuh insentif yang lebih besar lagi karena jika dikemudian hari terjadi
hal-hal yang merugikan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan, KAP dapat
meminimalkan kerugian yang akan dideritanya terkait reputasi KAP, dan tuntutan
lainnya.
2.5.Teori
Regulasi
Teori regulasi
menyatakan perekonomian terpusat adalah alas an dalam melindungi kepentingan
umum. Secara teori, legislatif membuat peraturan untuk melindungi kepentingan
ekonomi. Dapat dikatakan bahwa
pembentukan regulasi yang ada itu didasarkan atas kepentingan-kepentingan setiap kelompok secara keseluruhan. Regulasi
dibentuk tidak berdasarkan hanya satu kepentingan saja. Setiap konsekuensi dari
regulasi haruslah diterima oleh setiap kepentingan ekonomi yang terkait
(pengguna). Menurut Hendriksen (2005) dalam Ulfasari (2014) konsekuensi ekonomi
yang diterima oleh pengguna adalah sebagai berikut:
Tabel
Konsekuensi
Ekonomi
Pengguna
|
Konsekuensi
|
Perusahaan/korporasi
|
Biaya penerbitan
laporan keuangan
Perbedaan volatilitas
angka laporan keuangan
|
Manajemen
|
Perilaku manajemen
|
Masyarakat
|
Persepsi atas
perusahaan
|
Investor dan kreditor
|
Keputusan keuangan
|
Saat ini negara
Indonesia sudah membentuk kebijakan baru, yaitu pengadopsian ISA sebagai
standar auditing yang berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 2013. Jauh sebelum pengadopsian ISA, Indonesia juga
mengadopsi standar pelaporan keuangan IFRS. Pada dasarnya, IFRS jauh lebih
dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan ISA. Hal ini dikarenakan, IFRS
merupakan standar pelaporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan tidak terbatas
hanya pada bentuk, ukuran, latar belakang investasi. IFRS adalah standar
pelaporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen. Sementara ISA merupakan
standar pengauditan eksternal yang sudah tentu memiliki cakupan pasar yang
lebih spesifik, yaitu KAP selaku pelaku pengaudit eksternal perusahaan. Namun
demikian, baik IFRS maupun ISA dipublikasi oleh satu badan organisasi yang
sama, yaitu IFAC.
Perubahan
regulasi tentunya akan memberikan dampak pada setiap kepentingan. Diharapkan,
perubahan regulasi dengan jalan mengadopsi ISA dapat memberikan nilai tambah
kepada setiap kepentingan. Namun demikian, Tuanakotta (2013) menyebutkan bahwa
target utama yang nantinya akan menikmati nilai tambah atas pengadopsian ISA
adalah para investor dan calon investor. Ini mungkin dikarenakan dengan
meningkatnya kualitas atas audit tentunya akan memberikan nilai tambah atas
kualitas informasi dari laporan keuangan dari perusahaan yang saat ini sudah
mengadopsi IFRS.
Tapi, meskipun
terdapat nilai tambah atas pengadopsian ISA, tentunya ada harga yang harus
dibayar untuk memperoleh nilai tambah ini. Tuanakotta (2013) mengatakan ada peningkatan atas beban audit
yang tidak selamanya tercermin dalam tambahan fee. Beban audit yang ada di KAP sendiri tidak selamanya dibebankan
secara langsung ke fee yang diterima
dari perusahaan. Lebih lanjut mengenai fee
dijelaskan pada bagian berikutnya.
2.6.ISA
ISA (International Standards on Auditing)
adalah standar auditing internasional
yang dikeluarkan oleh IFAC (the
International Federation of Accountants). IFAC merupakan organisasi yang
membidangi standar-standar akuntansi, auditing, kode etik, kendali mutu, dan
lain-lain, pada tatanan global. Dan IAASB (the
International Auditing and Assurance Standards Board) yang membuat program International Standards on Auditing
(ISA). Pada bulan Maret 2009, IAASB mengumumkan penyelesaian program mengenai
kejelasan ISA yang dikenal Clarity
Project. Program ini menerapkan konvensi baru mengenai penyusunan draf (new drafting conventions) pada seluruh
ISA, sebagai bagian dari revisi substantive (substantive revision) maupun penyusunan draf ulang secara terbatas
(limited redrafting).
Pada dasarnya,
antara standar auditing yang lama dengan ISA terdapat perbedaan. Menurut
Tuanakotta (2013), perbedaan ISA dengan standar audit sebelumnya akan terlihat
perubahan yang substantif dan mendasar. Adapun perubahan itu yaitu:
1. ISA
lebih menekankan aspek risiko dibandingkan dengan standar audit sebelumnya.
Maka itu, ISA juga dikenal dengan audit berbasis risiko (risk-based audit)
2. ISA
adalah standar-standar berbasis prinsip (principles-based
standards), sementara standar audit yang lama berbasis aturan (rule-based standards).
3. ISA
cenderung menekankan pada penggunaan professional
judgement, sementara standar audit yang lama cenderung pada pendekatan
model matematis.
4. Pada
segi pengendalian internal, ISA menekankan pada kewajiban entitas dan kewajiban
auditor serta komunikasi dengan manajemen dalam hal auditor menemukan
defisiensi dalam pengendalian internal. Sementara standar audit yang lama
berkonsep seolah-olah prosedur audit selanjutnya dan reviu atas pengendalian
internal adalah berdiri sendiri.
5. ISA
menekankan berbagai kewajiban entitas dan manajemen juga menekankan perlunya
orang atau lembaga wewenang yang cukup dalam mengawasi enititas yang disebut those charged with governance.
Dari perbedaan-perbedaan yang ada, terlihat jelas
bahwa antara ISA dengan standar yang berbeda punya kerangka pikir yang berbeda
sehingga otomatis model pengauditan keduanya tidaklah sama. Perlu ada
pembelajaran-pembelajaran dan penyesuaian yang dilakukan oleh pengaudit
sehingga dapat mengaudit yang sesuai dengan ISA. Jika diasumsikan pengauditan
menggunakan ISA dapat meningkatkan mutu audit, maka sudah tentu pengauditan ini
membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan
oleh pengauditan menggunakan standar audit yang sebelumnya. Dan sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, beban audit yang ditanggung KAP tidak serta
merta tercermin dalam biaya audit. Namun meskipun demikian, tetap saja ada
pengaruh atas pengimplementasian ISA pada audit
fee yang dibayarkan oleh perusahaan yang mengaudit laporan keuangannya.
Penjelasan audit fee ini akan
dijelaskan di bagian selanjutnya.
2.7. Audit Fee
Imbalan atas
jasa yang diterima oleh auditor atas jasa auditnya ini disebut audit fee.
Besarnya audit fee dipengaruhi oleh
beragam faktor. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik (2000) menyebutkan
besarnya audit fee yang diterima oleh
auditor dapat bervariasi dan dipengaruhi oleh: (i) risiko penugasan, (ii) kompleksitas jasa yang
diberikan, (iii) tingkat keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan jasa
tersebut, (iv) struktur biaya KAP yang bersangkutan, dan (v) pertimbangan professional lainnya.
Pengadopsian ISA
ini tentunya berdampak pada biaya. Kohler
(2009) membuat perkiraan kenaikan biaya atas pengadopsian ISA dalam
kerangka penerapan ISA oleh negara-negara Masyarakat Uni Eropa. Dalam studi ini
ada dua pengelompokan biaya atas audit. Adapun pengelompokan ini yakni biaya
yang berulang-ulang terjadi setiap tahun (recurring
cost) dan biaya yang sekali terjadi (one-off
costs). Kohler (2009) menyatakan recurring
costs yang mempengaruhi pasar audit
dibandingkan one-off costs. Secara
keseluruhan ada kenaikan biaya yang dikeluarkan oleh KAP big four maupun KAP lainnya
di Uni Eropa. Kenaikan recurring costs
kebanyakan diakibatkan oleh desain ulang karena
ISA yang direvisi. Namun demikian kenaikan baya bervariasi antara satu
jurisdiksi dibandingkan dengan jurisdiksi lain, tergantung dari kantor akuntan,
penugasan audit dan negara anggota Uni Eropa.
Atas audit fee yang nantinya akan dibayarkan
oleh perusahaan yang menggunakan jasa audit ini menurut Tuanakotta (2013) tidak
selamanya tercemin dalam tambahan. Lebih lanjut Tuanakotta (2013) mengatakan
beban audit dalam tahun-tahun pertama sangat signifikan; berupa biaya
pendidikan dan pelatihan, penerbitan kembali pedoman audit yang dipakai KAP,
sampai opportunity cost karena
partner harus mengikuti pelatihan atau memberi pelatihan kepada stafnya atau
memberi penjelasan kepada kliennya dan lebih banyak waktu partner (dalam
ketentuan ISA) pada setiap perikatannya.
Di negara
Indonesia, Adopsi ISA dalam audit laporan keuangan periode yang dimulai pada
atau setelah 1 Januari 2013. Hal ini berarti, laporan keuangan yang beredar
saat ini di Indonesia yng telah mengadopsi ISA adalah laporan keuangan pada
tahun 2013. Dengan demikian Indonesia resmi memasuk tahun pertama
pengimplementasian audit. Jika dikaitkan dengan apa yang disampaikan
sebelumnya, tentunya ada banyak biaya yang dikeluarkan oleh KAP selama tahap
implementasi. Artinya untuk mendapatkan manfaat atas pengimplementasian ISA
terdapat biaya yang harus dikorbankan tidak hanya oleh KAP selaku pengaudit,
juga perusahaan selaku pengguna jasa audit.
Seperti yang
telah diutarakan sebelumnya, perbedaan-perbedaan antara kebijakan adopsi ISA
dapat menyebabkan perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh KAP dalam mengaaudit
laporan keuangan, Berdasarkan Surat Keputusan No. KEP.024/IAPI/VII/2008 tentang
Kebijakan Penentuan Fee Audit yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia,
penentan fee audit sebaiknya mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
1. Kebutuhan
klien
2. Tugas
dan tanggung jawab menurut hukum
3. Independensi
4. Tingkat
keahlian
5. Tanggung
jawab yang melekat pada pekerjaan yang dilakukan
6. Tingkat
kompleksitas pekerjaan
7. Banyaknya
waktu yang diperlukan dan secara efektif digunakan oleh akuntan public dan
staffnya untuk menyelesaikan pekerjaan
8. Basis
penetapan fee yang disepakati.
Kendati
kebijakan penentuan fee audit sudah dikeluarkan, namun tidak ada ukuran tarif
yang pasti atas jasa audit. Tentunya ini merupakan kebijakan setiap KAP yang
bersangkutan. Apalagi dengan ISA sebagai panutan standar audit yang
menitikberatkan pada professional
judgement dalam menentukan biaya audit tentu mempertimbangkan sesuai dengan
pertimbangan profesionalnya. Dapat
diasumsikan bahwa KAP dengan pengalaman yang hampir sama kemungkinan besar akan
memasang tarif yang tidak jauh berbeda.Hal ini akan memungkinkan keseragaman
tarif antara KAP dengan tingkat professional yang sama.
BAB
III
METODE
PENULISAN
3.1. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah
studi pustaka. Dalam penulisan karya tulis ini, penulis melakukan berbagai
analisis mengenai pengimplementasian ISA di Indonesia. Analisis tersebut
dilakukan dengan mempelajari beberapa buku yang menjadi acuan untuk memahami
problematika yang ada di dalam penerapan ISA tersebut. Selain itu, penulis juga
memanfaatkan perpustakaan Universitas Sumatera Utara sebagai suatu bentuk
aplikasi untuk penyelesaian karya tulis ini. Sama halnya dengan penggunaan
fasilitas internet sebagai sarana untuk melakukan akses dalam pemahaman
mengenai pengimplementasian ISA di Indonesia. Dengan demikian penyelesaian
karya tulis ini kami lakukan dengan berbagai analisis dan pembelajaran secara
kepustakaan. Selain itu penulis juga banyak mempelajari berbagai karya tulis
dan penelitian terdahulu mengenai penerapan ISA di Indonesia.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1.
Analisis Permasalahan
4.1.1 Perkembangan Pengimplementasian International Standards on Auditing (ISA)
dalam Kegiatan Pengauditan di Indonesia Saat Ini
Penerapan ISA di Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang
dianggap baru oleh sebahagian kalangan. Melalui Konvensi Nasional Akuntan
Indonesia pada tahun 2004 telah diputuskan bahwa Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
akan melakukan adopsi sepenuhnya (full adoption) Internatioanl
Auditing and Assurance Standards (ISA) yang diterbitkan oleh Internasional
Federation of Accountants (IFAC). Sama halnya dengan standarisasi laporan
keuangan dimana Indonesia sudah mulai mengadopsi IFRS sejak tahun 2012,
walaupun belum mampu melakukan adopsi secara murni, tetapi perlahan Indonesia
mampu untuk mengimplementasikannya. Keputusan konvensi IAI ini sejalan dengan
kewajiban keanggotaan IFAC yang dicantumkan dalam Statement of Membership
Obligation (SMO) No. 3. Dalam SMO No. 3 tersebut antara lain disebutkan
“ Member bodies should use their best endeavors: a) to incorporate the
internasional standards issued by the IAASB into their national standards or
related other pronouncements….”
Mungkin menjadi pertanyaan mengapa IAI menjadi anggota IFAC,
yang salah satu konsekwensinya akan mewajibkan IAI melakukan adopsi ISA. Pada
dasarnya, Indonesia harus mampu mengikuti perkembangan dengan baik tidak
terkecuali perkembangan mengenai penerapan standar international untuk kegiatan
pengauditan. Menurut Syarif Basir “IAI menjadi anggota IFAC karena adanya
keinginan dari para akuntan Indonesia untuk memajukan profesi akuntan di
Indonesia”. Hal ini juga melatabelakangi bahwa profesi akuntan merupakan suatu
profesi yang senantiasa mengalami perkembangan dengan pesat. Artinya profesi
akuntan harus mampu menerima berbagai globalisasi, kemajuan, atau apapun yang
bersifat membangun untuk meningkatkan kualitas para akuntan Indonesia tersebut.
Penerapan ISA di Indonesia belum dapat dilakukan secara
murni ataupun seutuhnya. Hal ini membutuhkan berbagai penyesuaian bagi para
akuntan di Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri ketika ISA dapat diterapkan
secara murni, maka dapat diyakinkan bahwa standarisasi akuntan Indonesia
terkhusus auditor eksternal akan meningkat secara signifikan. ISA sendiri pada
saat ini sudah diadopsi di banyak negara anggota IFAC, beberapa negara sudah
melakukan full adoption, dan sebagian negara masih menyisakan beberapa
seksi yang belum diadopsi. Dengan semakin banyaknya negara yang menjadi anggota
IFAC maka pada saatnya nanti seluruh negara anggota IFAC akan menerapkan ISA sebagai
standar profesional akuntan publiknya masing-masing.
Di Indonesia sejatinya ISA bukan hal yang baru. SPAP 2001
sudah melakukan adopsi atas sepuluh standar audit internasional tersebut.
Sepuluh standar yang diadopsi dari ISA antara lain ISA 310 : Knowledge of
the Business, ISA 401: Auditing in a Computer Information Systems
Environment, dan ISA 510: Initial Engagements-Opening Balance. Namun
seperti diuraikan di atas, mengingat SPAP sejak tahun 2001 relatif stagnan,
maka Standar yang diadopsi tersebut sudah tidak up-to-dated lagi dengan
ISA yang baru (2007). Oleh karena itu, yang akan dilakukan oleh IAI dalam
rangka adopsi ini adalah melakukan adopsi penuh (full adoption) atas ISA
terkini (Current ISA). Dengan demikian bukan hanya melakukan revisi atas
beberapa standar internasional yang telah diadopsi SPAP, tetapi seluruh isi
SPAP akan digantikan dengan standar-standar yang ada dalam Handbook of
Internasional Auditing, Assurance, and Ethic Pronouncements terbitan IFAC
tersebut.
Menurut informasi yang diperoleh penulis dan disampaikan
oleh Syarif Basir bahwa, dari jumlah seksi yang ada pada ISA sebanyak 40 seksi,
telah diterjemahkan sebanyak 33 seksi, atau 83% dari seluruh seksi ISA.
Kemudian yang masih harus dilakukan DSPAP adalah melakukan proses editing
terjemahan dan dilanjutkan dengan mempelajari kesesuaian aturan-aturan dalam
standar tersebut dengan kondisi Indonesia, dan seterusnya tahapan dari suatu due
process procedure. Proses mempelajari kesesuian ISA dengan kondisi
Indonesia pada dasarnya merupakan proses penilaian keterterapan (applicability)
suatu standar, yang apabila ternyata beberapa isi dari ISA tersebut tidak
sesuai maka proses modifikasi perlu dilakukan. Dengan proses ini akhirnya
diharapkan bahwa ISA yang diadopsi dan dimodifikasi akan sesuai dengan kondisi
Indonesia dan sekaligus SPAP yang baru sebagai hasil adopsi ISA mendapat
pengakuan dari IFAC sebagai suatu standar yang conform dengan ISA.
4.1.2.
Implementasian International Standards on
Auditing (ISA) dalam Suatu Kegiatan Pengauditan Mempengaruhi Peningkatan
Biaya Audit
Pengimplementasian
ISA dalam suatu kegiatan audit mampu meningkatkan biaya audit hal ini
dikarenakan adanya suatu peningkatan standarisasi audit untuk suatu perusahaan.
Analoginya, ketika suatu standarisasi meningkat, maka kinerja dan kualitas dari
suatu kegiatan pengauditan tersebut juga akan meningkat. Hal ini sejalan dengan
biaya audit yang akan di berikan kepada auditor-auditor eksternal. ISA akan
memberikan sebuah standar baru yang bertaraf internasional, dimana setiap
negara harus mampu menerapkannya jika mau diakui keberadaannya secara
internasional. Perlu adanya berbagai penyesuaian untuk menerapkan ISA secara
mutlak. Akuntansi tetap berkiblat terhadap USA namun, akuntansi merupakan
sebuah ilmu yang senantiasa mengalami perkembangan secara lebih baik menuju
suatu kesempurnaan.
Biaya
audit yang pada mulanya belum memiliki standarisasi yang jelas di Indonesia
sendiri, namun ISA seharusnya akan memperjelas dan menyempurnakan standarisasi
untuk biaya audit tersebut. Suatu peningkatan standarisasi akan mampu
meningkatkan sebuah paparan-paparan informasi yang akan disampaikan oleh
laporan keuangan tersebut. Informasi yang semakin baik dan jelas akan
meningkatkan berbagai peluang untuk setiap kalangan, maka dari itu penerapan
ISA diharapkan tidak hanya meningkatkan standarisasi laporan keuangan, tetapi
juga mampu memberikan pemaparan yang lebih jelas dan dapat dipahami oleh setiap
pihak.
Setiap
auditor harus mampu meningkatkan kualitas dirinya untuk dapat menjadi seorang
auditor yang baik dalam melakukan pekerjaannya. Di Indonesia sendiri ISA masih
sangat jauh dari kata sempurna dalam penerapannya, namun berbagai sosialisasi
dan motivasi untuk beranjak dari standar audit yang lama menuju ISA sudah terus
digalakkan dengan baik. Dengan demikian, biaya audit memang harus di sepakati
bersama dengan suatu standarisasi yang baik dan akan memberikan gambaran
menganai kualitas kinerja yang akan diberikan kepada klien. Satu hal yang pasti
biaya audit tidak digunakan untuk membeli opini auditor. Dengan demikian
standarisasi yang tinggi dan lebih baik seperti ISA harus mampu meningkatkan
idealitas dan intelektualitas para auditor, dan semua ini memiliki korelasi
yang akan berdampak positif terhadap kegiatan pengauditan.
4.1.3. Manfaat Implementasi International Standards on Auditing (ISA)
dalam Suatu Kegiatan Pengauditan di Indonesia Sebanding dengan Peningkatan
Terhadap Standarisasi Biaya Audit
Implementasi
ISA di Indonesia memberikan manfaat yang sebanding dengan biaya yang dikelurkan
oleh klien terhadap auditor. Statement ini pada dasarnya belum merupakan sebuah
pernyataan mutlak yang dapat dipercaya. Hak ini seiring dengan berjalannya
waktu dimana laporan keuangan tersebut belum mampu menerapkan ISA dalam waktu
yang cepat. Bagaimana mungkin kita dapat menyatakan secara lantang bahwa
implementasi ISA memberikan cost dan benefit yang sebanding. Namun demikian,
penerapan ISA di Indonesia tetap di haruskan jika kita mau bersaing secara
berdampingan dengan negara-negara asing di dunia, dikarenakan adanya
globalisasi.
Dalam
Workshop dan Bedah Buku yang bertajuk Audit Berbasis ISA (31/5) yang lalu,
Theodorus M. Tuanakotta, MBA. selaku penulis buku yang berjudul serupa
menjelaskan seluk beluk audit berbasis ISA serta berbagai kelebihannya. Pria
yang telah berpengalaman menjadi akuntan publik selama 35 tahun ini menuturkan
bahwa ISA mengandung desakan yang lebih besar bagi auditor untuk menemukan
kecurigaan. ISA lebih menekankan pada identification (pengidentifikasian
hal yang belum dilihat), bukan assessment (penilaian sesuatu yang
dilihat). Meski demikian, ia juga mengamini bahwa substansi ISA itu masih
hampir sama dengan standar yang digunakan sebelumnya. Selain itu Theo juga
menekankan bagaimana seharusnya peran seorang auditor. "Auditor pada dasarnya
adalah anjing penjaga, bukan pelacak. Artinya, auditor hanya bertugas
memberitahu," tambahnya.
Dengan
demikian, perlu adanya pendidikan dan pemahaman ekstra mengenai suatu kegiatan
audit yang seharusnya dilakukan oleh para auditor. Selain itu, dalam melakukan
kegiatan audit berbasis ISA ini, setiap auditor akan memberikan suatu
pembuktian yang jauh lebih baik dalam melakukan penganalisisannya. Hal ini
tentunya akan meningkatkan kepercayaan para pengguna laporan keuangan untuk
memahami bahwa laporan tersebut telah dapat dipercaya secara lebih baik. Maka
hal ini juga yang akan meningkatkan biaya dan manfaat yang sebanding. Yang
menjadi permasalahan adalah semua negara tidak memiliki kondisi dan situasi
yang sama. Dengan demikian ISA belum mampu diterapkan secara sempurna di
Indonesia.
Sementara
itu, Prof. Indra Bastian, MBA. menerangkan kesulitan penerapan ISA di
Indonesia. Indra menekankan bahwa ISA memang baik, akan tetapi dibutuhkan
kondisi-kondisi tertentu agar lebih siap diimplementasikan. Ia menyarankan agar
membuat ISA lebih user-friendly untuk Indonesia. "Caranya adalah
dengan mengadaptasi, bukan mengadopsi. Di Perancis hanya 20% dari ISA yang
diikuti. Sedangkan Indonesia lebih bebas," terangnya.
Drs.
Sugiarto, M.Acc., MBA., CMA., selaku Ketua Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAK)
FEB UGM menuturkan pula tentang amat pentingnya pemahaman terhadap ISA ini.
Menurutnya, globalisasi menuntut auditor untuk cepat beradaptasi dengan standar
internasional. Pengetahuan serta pemahaman terhadap ISA amat penting tidak
hanya bagi praktisi, tapi juga akademisi dan mahasiswa. ISA menyimpan berbagai
kelebihan yang juga menuntut kesiapan dari negara pelaksananya. Hal ini juga
menyebabkan adanya kemungkinan peningkatan biaya dan manfaat yang sebanding.
4.1.4.
Implementasi International Standards on
Auditing (ISA); Persiapan Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
Berdasarkan pengalaman negara lain yang sudah
terlebih dahulu mengadopsi ISA sebagai standar auditing negaranya, tentunya
mereka sudah terlebih dahulu merasakan hambatan dan tantangan dalam
pengimplementasian ISA sebagai standar audit laporan keuangan. Saat ini trennya
adalah negara yang mengadopsi IFRS sebagai standar akuntansi di negaranya akan
mulai mengadopsi ISA sebagai standar auditing yang dipublikasikan oleh IFAC.
Mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, Indonesia yang telah mengadopsi IFRS
sebagai standar laporan keuangannya juga harus menerapkan ISA sebagai standar
pengauditan laporan keuangan di negaranya.
Sudah bukan isu lagi bahwa saat ini dunia tengah
membuat standarisasi pelaporan keuangan dan pengauditan laporan keuangan yang
dapat diterima secara internasional dan digunakan di seluruh dunia. Dengan
adanya standar yang sama dapat dibilang bahwa ‘bahasa laporan keuangan’ antar
negara akan menjadi sama. Dan dengan bahasa yang sama ini tentu informasi yang
diperoleh setiap pengguna laporan keuangan adalah sama. Ini berarti investor
yang masuk ke setiap negara tidak lagi terbatas pada investor dalam negeri,
tetapi juga luar negeri. Hal ini semakin membuka lebar kesempatan setiap negara
untuk memperoleh investor sehingga dapat menyukseskan pembangunan di setiap
negara.
Hal ini tentunya, merupakan kesempatan besar untuk
negara Indonesia. Kesempatan yang besar ini tentunya diikuti dengan tantangan
yang besar pula. Sebuah tantangan bagi Indonesia untuk sesegera mungkin
menguasai standar internasional yang digunakan. Saat ini persaingan sudah
mencapai tingkat global. Disamping sumber daya manusia yang mampu bersaing,
maka fasilitas untuk mendayagunakan sumber yang ada juga harus mumpuni.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pada tahun 2015 nanti, Indonesia siap
ataupun tidak siap, harus segera mampu bersaing dengan negara-negara lainya
,khususnya negara-negara di kawasan ASEAN dalam segala aspek ekonominya. Hal
ini terjadi sebagai dampak pembentukan ASEAN
Economic Community (AEC) atau dikenal juga dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN
yang akan tercapai tahun 2015. Munculnya AEC ini bersamaan dengan fase kedua
dari rencana jangka panjang pembangunan Indonesia yang dikenal juga dengan
MP3EI. Dan implementasi ISA adalah salah satu tindakan yang diambil oleh negara
Indonesia untuk mempersiapkan diri menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN dan
mendukung rencana jangka panjang Indonesia MP3EI.
Sebagaimana diketahui bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN
adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam rangka menjaga stabilitas politik
dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan
di pasar dunia, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan serta
meningkatkan standar hidup penduduk negara anggota ASEAN yang direncanakan akan
tercapai pada tahun 2015. Bila ini berhasil diwujudkan, maka nantinya ASEAN
akan menjadi pasar tunggal berbasis produksi tunggal sehingga arus barang,
jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih
bebas diantara negara ASEAN. Hal ini berarti para pemilik modal yang
berkewarganegaraan salah satu di negara ASEAN nantinya akan lebih bebas untuk
menyalurkan dananya ke negara yang mana saja ia tuju. Hal ini merupakan sebuah
kesempatan emas bagi Indonesia untuk mendapatkan modal dari para investor itu
sehingga MP3EI fase kedua dapat sukses terlaksana.
Namun sebagaimana diketahui, para Investor-investor
itu tidak menaruh modal yang mereka miliki secara sembarang. Sudah ada
penilaian-penilaian yang mereka lakukan sehingga menjatuhkan pilihannya untuk
berinvestasi di suatu negara. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi Indonesia
untuk menggaet perhatian investor sehingga menaruh minatnya pada perusahaan-perusahaan
yang ada di Indonesia. Dan sebelum Indonesia dapat menarik perhatian para
investor sudah pasti Indonesia haruslah dapat menunjukkan kelebihan yang
dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Dan salah satu
sarana untuk mempromosikan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh perusahaan
adalah laporan keuangan. Laporan keuangan yang dimaksud adalah laporan keuangan
yang dapat dibaca dan dipahami oleh investor. Oleh karena itu laporan keuangan
harus dibuat sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang sudah diterapkan
oleh banyak negara, yaitu IFRS. Dengan demikian informasi-informasi yang
terkandung dalam laporan keuangan dapat tersampaikan dengan baik ke tangan
investor.
Meskipun telah digunakan IFRS sebagai standar
laporan keuangan yang beredar di Indonesia ternyata tidaklah cukup. Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa laporan keuangan dibuat oleh pihak internal
manajemen setiap masing-masing perusahaan. Tidak ada jaminan bahwa apa yang
dilaporkan oleh perusahaan dibuat sesuai dengan standar pelaporan yang benar.
Dan kendati sudah sesuai dengan standar, juga tidak ada jaminan kalau informasi
yang terkandung dalam laporan keuangan sudah menunjukkan realita yang
sebenarnya dan bukan laporan keuangan yang dipercantik sehingga menjadi lebih
layak dari apa yang seharusnya.
Dan disinilah peran audit, sebagai pihak penengah
antara pihak eksternal dan internal dari perusahaan. Auditor eksternal selaku
pengaudit laporan keuangan dapat memberikan keyakinan yang memadai untuk
menyatakan opininya atas laporan keuangan perusahaan. Dan semakin baik opini
atas laporan keuangan itu, maka semakin besar kemungkinan laporan keuangan itu
menampilkan informasi yang sesuai dengan realita yang ada.
Untuk mengaudit laporan keuangan tentunya harus ada
standar-standar yang dipakai. Sebelumnya Indonesia menggunakan standar audit
yang berasal dari Amerika Serikat. Masalahnya adalah saat ini Indonesia sudah
mengadopsi IFRS yang berasal dari Eropa. Memang jauh sebelum Indonesia
mengadopsi IFRS ,kendati tidak ada pernyataan khusus, Indonesia memiliki
standar akuntansi yang sangat mirip dengan yang dipublikasikan oleh Amerika
Serikat. Tentunya standar auditing yang lama ini tentunya didesain sesuai
dengan standar akuntansi Indonesia yang lama. Dan ketika IFRS sudah berlaku, tentunya
harus ada standar auditing yang didesain untuk mengaudit laporan keuangan yang
berbasis IFRS. Dan ISA adalah jawaban dari persoalan ini. ISA yang juga berasal
dari Eropa ini tentunya sudah dirancang untuk mengaudit laporan keuangan yang
berbasis IFRS.
Maka dari itu, Indonesia sebagai negara yang juga
telah mengadopsi IFRS tentunya juga harus mengadopsi ISA. Dengan demikian
barulah fasilitas berupa standar yang dibutuhkan untuk mendukung rencana
menggaet investor ini lengkap. Karena pada dasarnya ISA dan IFRS adalah satu
kesatuan yang dapat melengkapi. Adanya ISA diharapkan kepercayaan pengguna
informasi laporan keuangan semakin percaya bahwa informasi laporan keuangan
adalah informasi yang berkualitas dan bebas dari tindakan manajemen laba yang
dapat merugikan investor.
Kenyataannya, bahkan sebelum ISA resmi
diimplementasikan di negara Indonesia, penggunaan ISA ternyata sudah dilakukan
di beberapa KAP di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa hal ini wajar, karena
mengingat KAP di Indonesia juga biasanya berpartner dengan KAP negara luar yang
mungkin telah mengadopsi ISA ataupun perusahaan di Indonesia yang punya parent company dari negara luar yang
telah mengadopsi ISA.
Dalam survei kecil yang dilakukan oleh Tuanakotta
(2013) terkait dengan pelaksanaan ISA oleh praktisi yang berpraktik di KAP yang
mempunyai jaringan praktik akuntansi global menyatakan bahwa waktu
pengimplementasian ISA di KAP ternyata bervariasi, mulai dari melatih praktisi
terkait dengan ISA, ada pula yang mengimplementasikan ISA pada anak-anak
perusahaan yang parent company auditor-nya
sudah menggunakan ISA. Ada pula responden yang menyatakan bahwa keputusan
mengimplementasi ISA adalah keputusan jaringan (global atau internasional),
bukan keputusan KAP Indonesia. Jika semata-mata hanya keputusan KAP Indonesia
tentu IAPI dan pronouncements yang diterbitkan DSP menjadi acuannya.
Dari survei terlihat bahwa ternyata arus globalisasi
telah menyebabkan KAP yang ada telah mengimplementasikan jauh lebih cepat
dibandingkan dengan pengumuman penggunaan ISA pada audit laporan keuangan
periode yang dimulai 1 Januari 2013. ISA pada kenyataannya harus secepatnya
diimplementasikan mengingat kebutuhan dari perusahaan yang ada. Karena saat
ini, KAP yang ada tidak hanya berasal dari Indonesia, tentunya KAP ini tetap
harus beradaptasi dan mampu melayani kebutuhan setiap kliennya.
Oleh karenanya IAPI dan DSP disini berperan penting
untuk mensosialisasikan ISA. Saat ini,
ISA adalah fasilitas peraturan yang penting untuk dimiliki oleh Indonesia untuk
menghadapi tantangan ke depannya. Apalagi pada tahun 2015 ini Indonesia sudah
memasuki era investasi, sudah tentu Indonesia harus siap bersaing dengan negara
lain. Dan ditambah dengan munculnya AEC, Indonesia haruslah secepatnya untuk
menyempurnakan implementasi ISA. Jangan sampai nantinya Indonesia ketinggalan
dengan negara ASEAN lainnya.
Pada akhirnya, pengimplementasian ISA memang
merupakan salah satu hal yang penting untuk dilaksanakan. ISA bisa dibilang
merupakan ukuran kesiapan Indonesia untuk mempersiapkan dirinya dalam
menghadapi peluang dan tantangan yang ada dalam melaksanakan fase kedua dari
MP3EI di tengah isu AEC yang kelak akan terjadi bersamaan dengan pelaksanaan fase
kedua. Dan sebagai jawaban atas kesiapan atas AEC ini, Indonesia telah
membuktikan keseriusannya dengan meresmikan ISA sebagai pedoman atas audit
laporan keuangan yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2013. Sudah satu
tahun lebih sejak pelaksanaan peraturan ini. Walau secara resmi ISA masih muda,
kenyataannya upaya pengimplementasian ini sudah ada jauh sebelum ini sebagai
akibat dari globalisasi. Maka itu, terkait implementasi ISA, tentunya setiap
orang harus terus belajar karena ISA sendiri berkembang dan mengikuti
perkembangan kebutuhan penggunaanya.
4.1.5 Penerapan International Standards on Auditing (ISA); Solusi untuk Penerapan
Standarisasi Biaya Audit
ISA adalah
standar auditing yang menekankan pentingnya akan professional judgement. Hal ini karena ISA adalah standar audit
yang berbasis prinsip. Maka itu kearifan profesioanal atau professional judgement ini diwujudkan dalam bentuk yang lebih
konkret, yaitu dengan keikutsertaan auditor yang punya pengalaman yang banyak.
Keputusan yang dibuat oleh asisten dianggap kurang layak karena pengalaman yang
minim.
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa
dalam menentukan biaya audit ada beragam aspek yang harus dipertimbangkan oleh
KAP. Tentunya penilaian ini dilakukan oleh pihak internal dari KAP. Pertimbangan
atas biaya audit ini tentunya dilakukan berdasarkan atas pengalaman dari
praktisi dari KAP. Tentunya biaya itu tidak sembarangan saja ditentukan oleh
KAP. Dapat dikatakan bahwa dalam pengimplementasian ISA, tentunya KAP sangat
mengandalkan professional judgementnya dalam setiap keputusan, termasuk
pertimbangan akan biaya atas jasa audit.
Logikanya adalah semakin banyak pengalaman dari
praktisi, tentunya akan semakin baik pula keputusan yang diambil. Dapat pula
diasumsikan bahwa dengan pengalaman yang
hampir sama, tentunya solusi yang diambil antara KAP yang berbeda kemungkinan
besar adalah sama. Dengan demikian professional
judgement adalah standar atas segala keputusan, termasuk biaya audit.
Hal ini berarti, pada KAP yang berada pada level
yang sama kemungkinan akan menetapkan biaya audit yang tidaklah jauh berbeda
kepada perusahaan yang berada di level yang sama. Dapat dikatakan bahwa
nyatanya ISA tidaklah menetapkan standarisasi biaya audit. Namun demikian, ISA
menekankan pada professional judgement,
dan melalui professional judgement
inilah secara tidak langsung biaya audit akan memiliki standar tersendiri. Hal
ini tidak hanya terjadi pada biaya audit saja, namun juga pada aspek lainnya. Professional judgement menyebabkan
auditor tidak terpaku pada model matematis dan aturan, yang pada dasarnya kaku
dan mengikat. ISA membuat dasar yang kuat dan pengembangannya adalah professional judgement.
Berbeda dengan pajak yang memiliki tarif yang tidak
berubah, pengauditan atas laporan keuangan tidaklah memiliki tarif yang pasti.
Adanya penekanan professional judgement
ini yang dapat membawa standarisasi biaya audit atas suatu perusahaan. Pada
dasarnya professional judgement ini
bersifat fleksibel, namun dapat mengikat cukup kuat. Dan pada akhirnya standarisasi
biaya audit ini tergantung pada level dari professional
judgement yang dimiliki oleh KAP itu.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ISA
memberikan solusi atas standarisasi biaya audit yaitu dengan mendayagunakan professional judgement dari KAP. Dengan
demikian, biaya audit pada akhirnya akan punya standarisasi yang sesuai dengan
apa yang dinilai oleh auditor.Dan standar biaya audit yang diterapkan antar KAP
adalah berbeda, tergantung atas professional
judgement yang dimiliki.
4.2.
Simpulan
1.
Penerapan ISA di Indonesia masih jauh
dari kata sempurna, pada dasarnya Indonesia sendiri masih mempertimbangkan akan
menerapkan ISA secara mutlak atau hanya melakukan adopsi untuk bagian tertentu.
2.
ISA pada dasarnya sebuah standar untuk
kegiatan pengauditan yang sudah bertaraf internasional, baik dan bahkan
memberikan standarisasi yang tinggi untuk setiap negara yang mampu
menerapkannya.
3.
Dengan adanya ISA, para auditor harus
mampu bersaing secara kompetitif di taraf internasional, adanya suatu ajang
internasional dimana akan diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN, membuat
Indonesia mau tidak mau ataupun suka tidak suka harus mampu menerapkan ISA
dengan baik.
4.
Jika Indonesia mampu menerapkan ISA
dengan baik, maka setiap auditor di Indonesia akan mampu berkompetisi dengan
auditor lainnya dengan kualitas yang lebih baik.
5.
Penerapan ISA tidak sebatas meningkatkan
standarisasi audit, tetapi juga akan meningkatkan cost dan benefit dari suatu
kegiatan pengauditan di Indonesia.
6.
Penerapan ISA akan memberikan pemahaman
bahwa seorang auditor yang mampu menerapkan standarisasi ISA dengan baik, akan
mampu meningkatkan kualitas dirinya sebagai seorang auditor yang baik.
7.
ISA menerapkan suatu analisis yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan standar audit yang diterapkan di indinesia
sebelumnya, maka dari itu hasil dari laporan keuangan tersebut akan memberikan
kepercayaan yang lebih baik terhadap pihak yang memiliki kepentingan.
4.3.
Rekomendasi
1.
Seharusnya penerapan ISA di Indonesia
akan lebih baik lagi, dalam keadaan apapun Indonesia tetap harus mampu
menerapkannya dengan baik.
2.
Pengadopsian ISA perlu, namun
standarisasi yang terdahulu tetap dapat dijadikan sebagai suatu bahan
pertimbangan dan perbandingan dengan standarisasi ISA yang baru.
3.
Jika Indonesia mampu menerapkan ISA dengan
baik, maka para auditor akan mampu bersaing di kancah internasional.
4.
Auditor di Indonesia harus mampu
menghadapi persaingan yang nantinya akan membantu Indonesia untuk menjadi
sebuah negara yang di pandang baik oleh negara lain.
5.
Penerapan ISA harus mampu menjadi sebuah
ukuran untuk menentukan biaya audit yang selama ini tidak memiliki kejelasan
yang mutlak di Indonesia.
6.
Penerapan ISA harus mampu meningkatkan
kualitas para auditor di Indonesia agar menjadikan mereka memiliki kemampuan
untuk melakukan pengauditan dengan lebih baik.
7.
ISA harus memberikan kualitas yang lebih
baik untuk setiap auditor dalam melakukan suatu kegiatan analisis yang tinggi
terhadap berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam suatu kegiatan
pengauditan.
assalamualaikum ka, saya destia, mau nanya ini tulisannya bagus sekali. saya butuh ini sebagai referensi skripsi saya. kalo boleh tau ini siapa yang buat ya ka? saya mau hubingi personal kemana ya? terima kasih.
BalasHapus