1. Bagaimana
pendapat anda mengenai artikel diatas ?
Pendapat saya mengenai
artikel di atas adalah seperti yang dapat dipahami bahwa pemeriksaan pajak
adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi
tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan. Dimana,
dapat dipahami terdapat beberapa tata cara ataupun dasar hukum pemeriksaan
pajak diantaranya adalah :
a. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terahir dengan UU No. 16 Tahun 2009.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 80
Tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007.
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-130/PMK.03/2009 Tanggal 18 Agustus 2009 tentang Tata Cara Penghentian
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan
Negara.
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-201/PMK.03/2007 tanggal 28 Pihak-Pihak yang Terikat atas Kewajiban
Merahasiakan.
f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-199/PMK.03/2007 Tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Pajak.
g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-198/PMK.03/2007 Tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam
Rangka Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.
h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-202/PMK.03/2007 Tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti
Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
i. Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-09/PJ/2010 Tanggal 01 Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan untuk
Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Dengan demikian, sesuai
dengan paparan artikel tersebut bahwa direktorat jendral pajak telah melakukan
enam kesalahan ketika memeriksa dan menyidik dugaan penggelapan pajak Asian
Agri. Pada hakikatnya, pelaksanaan pemeriksaan pajak telah ditentukan
sedemikian rupa dan seharusnya mampu untuk ditaati oleh direktorat jendral
pajak. Namun, faktanya pemeriksaan yang dilakukan tidak memiliki jangka waktu
yang tepat. Dimana, diasumsikan bahwa kebijakan umum pemeriksaan pajak dapat
diuraikan antara lain :
1. Setiap
wajib pajak mempunyai peluang yang sama untuk diperiksa
2. Setiap
pemeriksaan yang dilaksanakan harus dilengkapi dengan surat perintah
pemeriksaan pajak yang mencantumkan tahun pajak yang diperiksa
3. Pemeriksaan
dapat dilaksanakan oleh kantor pusat Direktorat Jendral Pajak, Kantow Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak, kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak atau kantor
pelayanan pajak
4. Pemeriksaan
ulang terhadap jenis dan tahun pajak yang sama tidak diperkenankan, kecuali
dalam hal terdapat indikasi bahwa WP diduga telah atau sedang melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan dan terdapat data baru atau data yang lama belum
terungkap
5. Buku-buku,
catatan-catatan dan dokumen lain yang akan dipinjam dari Wajib Pajak dalam
pelaksanaan pemeriksaan tidak harus yang asli, dapat juga berupa fotokopi yang
sesuai dengan aslinya
6. Pemeriksaan
dapat dilakukan di kantor pemeriksaan (yaitu untuk pemeriksaan sederhana
kantor) atau di tempat wajib pajak (untuk pemeriksaan sederhana lapangan dan
pemeriksaan lengkap)
7. Jangka
waktu pelaksanaan pemeriksaan terbatas
8. Dapat
dilakukan perluasan pemeriksaan, baik untuk tahun-tahun sebelumnya maupun tahun
sesudahnya
9. Setiap
hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada wajib pajak secara tertulis yaitu
mengenai hal-hal yang berbeda ntara surat pemberitahuan (SPT) wajib pajak dan
hasil pemeriksaan, dan selanjutnya untuk ditanggapi oleh wajib pajak
Dengan
pemaparan terkait kebijakan umum pemeriksaan perpajakan tersebut, maka dapat
disinyalir bahwa seharusnya DJP tidak melakukan kesalahan yang sangat fatal
tersebut. Terlepas dari berbagai asumsi terkait lemahnya sumber daya baik
tenaga kerja maupun biaya yang dibutuhkan yang mungkin saja sulit dalam proses
melakukan pengauditan tersebut. Namun, analoginya Asian Agri merupakan sebuah
perusahaan multinasional yang seharusnya dilakukan pengaduitan terhadap
perusahaan tersebut secara berkala dan kontiniu serta tepat waktu. Kesalahan
DJP terkait tidak membuat berita acara penggeledaan kantor Asian Agri merupakan
sebuah kesalaha yang sangat tidak layak untuk ditoleransi.
Sama
halnya dengan alamat penggeledahanpun berbeda dengan yang tertera dalam surat
penggeledahan dari kantor yang didatangi. Pengauditan yang dilakukan bukan
merupakan sebuah pengauditan yang sederhana, ini merupakan pengauditan yang
besar dan seharusnya sangat jelas untuk mampu menentukan critical pointnya artinya, adanya dugaan penggelapan pajak yang
sampai merugikan negara hingga Rp 1,3, triliun bukan merupakan sebuah masalah
yang kecil. Akan banyak temuan yang seharusnya mampu diperoleh DJP terkait
permasalahan yang sangat krusial ini. Namun faktanya, DJP seolah kembali
diaudit oleh BPK. Setelah empat tahun, dari 12 berkas perkara tersebut hanya
satu berkas tersangka yang masuk ke kejaksaan agung.
Hal
ini menjadi sebuah polemik yang sifatnya sangat menyudutkan kinerja Direktorat
Jendral Pajak. Sangat disayangkan, bahwa perusahaan sekelas Asian Agri belum
mampu diaudit secara maksimal. Artinya, mungkin saja ada berbagai skandal di
dalam proses pengauditan tersebut. Semacam kecurangan (fraud) yang cenderung
disembunyikan namun pada akhirnya terjadi. Analoginya, DJP bukan merupakan
sebuah alat negara yang pertama kali melakukan pengauditan tersebut. Apalagi,
pencucian uang yang dilakukan oleh Vincentius Amin Sutanto merupakan bagian
dari transfer pricing yang coba
dilakukan untuk meminimalkan pajak perusahaan. Hal ini sangat wajar untuk
dilakukan, dikarenakan Asian Agri sendiri perusahaan yang sangat besar dan
sangat berpotensi untuk menambah penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Namun
demikian, menurut saya tidak ada alasan mutlak yang mampu ditoleransi untuk
memahami bahwa proses pengauditan tersebut wajar untuk dihentikan. Dengan
asumsi berkiblat pada berbagai kesalahan administratif dan tata cara dalam
pelaksanaan kewajibannya yang dilakukan oleh DJP. Kasus tersebut harus tetap berlanjut
dengan berbagai evaluasi menuju tindakan korektif atas segala kelalaian yang
telah dilakukan oleh DJP, namun terkait Asian Agri ini harus tetap dilakukan
penelutsuran lebih lanjut dikarenakan sangat merugikan negara. Dengan demikian,
seharusnya masalah ini menjadi hukuman dan kecaman yang sangat keras untuk DJP
agar mereka mampu mengevaluasi kinerjanya dan ini merupakan permasalahan yang
sangat sensitif. Artinya, kegagalan mereka untuk melakukan pengauditan pada
Asian Agri merupakan sebuah pencapaian yang sangat buruk.
2. Kenapa
banyak kesalahan-kesalahan dari Direktorat Jenderal Pajak ketika menyelidiki
kasus Asian Agri ? Apakah ada unsur kesengajaan di kasus ini ? Bagaimana
menurut anda ?
Pada
dasarnya, kesalahan-kesalahan tersebut merupakan beberapa hal yang sangat tidak
layak untuk ditoleransi. Sebagaimana dapat dipahami, bahwa Asian Agri bukan
merupakan sebuah perusahaan kecil yang proses pengauditannya tidak membutuhkan
analitikal prosedur yang tepat ataupun lebih tajam. Artinya, sangat dimungkinkan
berbagai bentuk kesalahan tersebut adalah kesengajaan yang dilakukan oleh DJP
dengan asumsi bahwa ada berbagai motif yang mungkin belum dapat dipahami
seutuhnya. Namun kenyataannya, kesalahan tersebut adalah terletak pada hal-hal
pokok yang sebenarnya sangat sederhana untuk dipahami dalam ranah pengauditan
yang dilakukan oleh DJP. Terutama terkait dengan tidak adanya berita acara dan
bahkan adanya alamat yang berbeda yang dicantumkan.
Kesalahan-kesalahan
tersebut tentunya akan menghakimi DJP sebagai elemen yang sangat ceroboh dan
memang tidak layak untuk ditoleransi. Analoginya, unsur kesengajaan sangat
mungkin ketika kita mampu berpikir bahwa apabila dilakukan pengauditan yang
sebenar-benarnya maka akan lebih banyak lagi temuan yang akan mempersulit Asian
Agri. Terutama terkait dengan pencucian uang. Adanya politik uang maupun upaya
untuk mencegah pengauditan yang seharusnya dilakukan DJP dengan sempurna, dapat
diindikasikan sebagai bentuk kecurangan (fraud)
yang seharusnya DJP sendiri mampu mengatasi masalah ini. Terlepas dari adanya
kepentingan pribadi ataupun oknum-oknum tertentu yang hakikatnya mereka sangat
merugikan negara.
Sesuai
dengan jawaban nomor 1, maka telah dipaparkan beberapa peraturan
perundang-undangan terkait dengan pemeriksaan pajak. Bahkan kewenangan serta
kewajiban juga telah dipaparkan secara mutlak. Dengan demikian, setiap bagian
dari DJP tidak memiliki alasan sedikitpun untuk melakukan kesalahan, apalagi
kesalahan tersebut adalah berlapis-lapis. Oleh karenanya, menurut saya sangat
mungkin adanya indikasi kecurangan di dalam kasus ini, dan seperti yang
dipahami pihak-pihak yang ditunjuk oleh DJP untuk melakukan pengaduitan juga
tentunya telah memiliki kompetensi yang telah dipersiapkan secara matang untuk
melaksanakan tugasnya dengan baik.
3. Kenapa
BPK sampai melakukan audit lanjutan pada Asian Agri ? Apakah hasil audit
direktorat pajak tidak dapat dipercaya ? jelaskan.
BPK
melakukan audit lanjutan terkait kasus Asian Agri merupakan hal yang sangat
wajar. Hal ini dikarenakan, DJP sendiri telah melakukan berbagai bentuk
kesalahan secara berlapis yang sifatnya sangat sulit untuk mempercayai hasil
pengauditan yang telah dilakukannya. Jadi, ketika BPK mengetahui hasil
pengauditan yang dilakukan oleh DJP tentunya BPK melakukan pemeriksaan terkait
temuan dan segala dokumen yang berhubungan dengan kegiatan pengauditan
tersebut. Hal ini bisa diasumsikan, ketika BPK melakukan pemeriksaan terhadap
DJP maka, BPK melihat beberapa temuan yang sangat layak untuk dipertanyakan
kembali. Sehingga hal inilah yang membuat DJP harus diaudit kembali, dan Asian
Agri juga harus diaudit kembali. Selain itu, hal yang sangat mendukung adalah
lumpuhnya kelengkapan dokumen pengauditan yang dimiliki oleh DJP, sehingga BPK
harus turun tangan untuk melakukan pengauditan kembali. Dan ada satu
pertimbangan mutlak yang menjadi sebuah tolok ukur untuk melakukan pengauditan
kembali oleh BPK yaitu, bahwa Asian Agri sangat berpengaruh untuk penerimaan
pajak negara. Makanya, kasus ini harus ditelusuri secara mendalam.
Pada
dasarnya hasil audit DJP tersebut bukan tidak dapat dipercaya. BPK juga tidak
berhak menghakimi secara sepihak, namun beberapa kesalahan yang sifatnya
prosedural dan administratif saja bisa salah, maka alangkah baiknya pemeriksaan
tersebut dilakukan secara ulang. Dan tentunya, karena DJP sendiri seharusnya
tidak melakukan kesalahan yang sangat fatal seperti itu. Ditambah lagi BPK
tentunya juga memiliki kecurigaan terhadap DJP dan Asian Agri terkait adanya
kemungkinan kecurangan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Sehingga
BPK semakin memperkuat alasannya kenapa harus melakukan audit kembali.
Analoginya, kecurangan tersebut mungkin saja dilakukan oleh perusahaan
multinasional sekelas Asian Agri, dan tentunya ini merupakan kasus yang
seharusnya DJP sudah mampu memprediksinya, bukan malah tenggelam dan larut
untuk melakukan kesalahan juga.
Sekalipun hasil
audit BPK mampu melemahkan hasil penyelidikan DJP, namun bukan berarti kasus
ini dihentikan. Namun, ada sebuah analogi yang sulit diterima oleh masyarakat
awam, bahwa seolah DJP dan BPK saling membunuh. Padahal kenyataannya, BPK
seharusnya melaksanakan tugasnya dengan baik dan penuh integritas. Sesuatu yang
salah maka akan mutlak salah, begitu juga ketika disadari terdapat oknum yang
melakukan kecurangan maka harus dilakukan sebuah pemeriksaan untuk meluruskan
keadaannya. Dan masalah ini juga akan membuat DJP untuk melakukan evaluasi
terhadap kinerjanya, karena ini bukan merupakan sebuah masalah kecil yang dapat
ataupun harus ditoleransi menurut saya.